Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Saat Rakyat Rindu Penjajah

image-profil

image-gnews
Ilustrasi (inloughborough.com)
Ilustrasi (inloughborough.com)
Iklan

Soe Tjen Marching
Dosen senior Departemen Studi Asia Tenggara di SOAS-University of London

Tahun depan, tampaknya pemilihan umum di Indonesia akan menyaksikan calon baru dari "dinasti" lama: Tommy Soeharto dengan Partai Berkarya. Seperti yang digembar-gemborkan Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, pada masa Orde Baru, keadaan lebih stabil dan murah sandang-pangan.

Padahal, pada 2010, Mahkamah Agung memutuskan bahwa keluarga Soeharto harus membayar Rp 4,4 triliun. Dan, masih ada hal lain yang tak kalah mengerikan. Pada November 2015, hakim Pengadilan Rakyat International kasus 1965 menyatakan bahwa pemerintah Orde Baru bertanggung jawab atas 10 pelanggaran hak asasi manusia berat, yakni pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, dan genosida.

Jadi bagaimana mungkin penindas berjuta rakyat ini bisa bertahan sebagai ikon yang dibanggakan sebuah partai? Tanpa ragu, Priyo memproklamasikan bahwa ia "terhipnotis trah Soeharto".

Sebenarnya, kerinduan terhadap penjajah bukan barang baru. Sebentar lagi, kita akan merayakan Hari Kemerdekaan, yang bisa diartikan dengan bebasnya sebuah negara dari penjajahan. Di sekolah-sekolah, tanggal 17 Agustus selalu dirayakan dan anak-anak mengamini bahwa penjajahan Belanda terhadap bangsa ini adalah keji. Pemerintah Belanda dianggap sebagai kekuasaan asing yang sudah merampas kedaulatan bangsa.

Namun, sewaktu Indonesia baru merdeka, tidak segampang itu melupakan penjajah karena ekonomi Indonesia terpuruk. Adanya blokade pemerintah Belanda terhadap ekspor Indonesia dan berbagai penggembosan lain mampu mengacaukan negeri ini. Mata uang pemerintah kolonial Jepang dan mata uang Hindia Belanda masih beredar. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengeluarkan mata uang sendiri, yaitu uang De Javasche Bank. Tapi, ternyata, justru tiga mata uang ini terus beredar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahan makanan juga makin mahal. Banyak petani dan pedagang yang tidak mau menjual dagangan mereka karena tahu harga-harga akan melonjak dengan cepat. Setelah dagangan mereka terjual, uang yang diterima tidak bisa dibelikan kulakan baru karena harga sudah melonjak jauh. Akhirnya, beberapa pedagang memutuskan untuk menyimpan saja barang-barang itu di gudang.

Obat-obatan juga banyak yang menghilang karena ditarik oleh pemerintah Belanda. Ada salah seorang teman saya yang bercerita bahwa pamannya terkena TBC dan akhirnya meninggal karena tidak dapat obat. Ironisnya, sang paman sempat mengungsi dan lari ke sana kemari menghindari kejaran Jepang dan Belanda, serta berhasil hidup. Matinya justru pada zaman kemerdekaan.

Penjajah mana yang dengan ringan hati dan sukarela melepaskan tanah jajahan mereka? Tentara Jepang masih berkeliaran dan siap menghajar mereka yang dianggap pro-kemerdekaan. Tak lama kemudian, pemerintah Belanda dengan tentara NICA pun kembali untuk merebut kekuasaan. Tentu saja, dengan alasan yang sekarang kita dengar lagi dari mereka yang mendengungkan "Piye le, enak jamanku to?", yaitu mengembalikan kestabilan politik dan ekonomi. Jadi, ada cukup banyak orang yang kemudian juga merindukan Belanda untuk kembali waktu itu karena mereka merindukan stabilitas yang dijanjikan ini. Kemerdekaan itu bukan perayaan, tapi proses yang penuh penderitaan.

Hal serupa pun terjadi kini: kekuatan lama ingin kembali, berusaha membentuk pola pikir masyarakat agar percaya bahwa ketidakstabilan politik dan naiknya harga barang sekarang adalah akibat pemerintah baru. Akhirnya, ada saja rakyat yang merindukan "orang" lama karena dianggap lebih tegas. Mereka yang berpikiran pendek dengan mudah termakan slogan "Piye le, enak jamanku?".

Dalam slogan ini terdapat manipulasi yang sangat berbahaya dan menjerumuskan, yaitu kerinduan terhadap seorang tiran. Hal serupa sempat terjadi dalam sejarah Indonesia, saat bangsa ini baru merdeka, sehingga tanpa sadar mereka telah merindukan orang yang menjadi penyebab utama kekacauan negeri ini.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.