Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus segera membenahi berbagai fasilitas publik yang tidak layak. Sudah saatnya Pemerintah Provinsi DKI memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan fasilitas yang nyaman, aman, serta bermanfaat.
Buruknya fasilitas umum di Ibu Kota jelas merugikan masyarakat, salah satunya adalah para pejalan kaki. Misalnya di Jalan M.H. Thamrin, yang menjadi salah satu etalase utama Jakarta, akses bagi pejalan kaki jauh dari mulus. Jumat pekan lalu, di sejumlah titik, pejalan kaki harus turun ke jalan karena area trotoar termakan oleh jembatan penyeberangan. Meleng sedikit, bisa-bisa mereka tersambar kendaraan yang melintas.
Di Jalan Medan Merdeka Barat, giliran jembatan penyeberangannya yang sudah tak laik. Besinya keropos dan anak tangganya tak cukup untuk telapak kaki orang dewasa. Alih-alih direnovasi, jembatan yang tak dilengkapi dengan atau jalur pengguna kursi roda itu cuma dicat agar tidak terlihat berkarat. Pengecatan tanpa perbaikan tidak menyelesaikan masalah. Keselamatan masyarakat tetap terancam.
Memang fasilitas yang tidak memenuhi standar itu bukan kesalahan Gubernur Anies dan jajarannya, karena sudah lama berdiri. Tapi Gubernur tak bisa hanya menyalahkan pemerintah sebelumnya. Menyediakan fasilitas publik yang layak merupakan kewajiban pemerintah, siapa pun gubernurnya.
Pembangunan fasilitas publik juga tak boleh asal-asalan, karena penggunaannya untuk jangka panjang. Nyatanya, sejumlah pembenahan fasilitas publik belakangan ini justru menunjukkan sebaliknya. Dalam penataan jalur pedestrian di kawasan Thamrin untuk menyambut Asian Games, misalnya, guiding block atau jalur pandu untuk tunanetra berbenturan dengan tiang lampu lalu lintas. Setelah fotonya viral di media sosial, barulah lampu jalan dipindahkan.
Begitu pula pengecatan pembatas dan marka jalan dengan warna-warna yang tak sesuai dengan aturan lalu lintas. Mungkin tujuannya agar suasana jalan lebih segar dan indah. Tapi pembatas jalan warna-warni justru sulit terlihat pada malam hari, sehingga bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan. Pengecatan itu akhirnya diulang, diganti dengan warna hitam-putih. Hal ini menunjukkan perencanaan pembenahan Ibu Kota masih serampangan.
Aspek perencanaan perlu diperhatikan pula dalam merancang pembangunan trotoar sepanjang 2.200 kilometer dari 400 kilometer yang ada saat ini. Tak hanya mengedepankan estetika, trotoar harus menyediakan jalur bagi para penyandang cacat. Mereka memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas tersebut. Sudah terlalu banyak fasilitas publik yang mengabaikan kebutuhan para difabel.
Pembenahan yang asal-asalan, tanpa perencanaan matang, hanya akan menghambur-hamburkan anggaran. Pemerintah DKI perlu menata secara cermat fasilitas publik untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang modern sekaligus ramah bagi semua warganya.