Bagi elite partai, berbagai tragedi berdarah di masa lalu tak lebih dari sekadar dagangan politik. Walau rezim berganti-ganti, tak ada satu pun di antara kasus-kasus itu yang diungkap tuntas. Begitu pula peristiwa penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996.
Menjelang Pemilihan Umum 2019, peristiwa 22 tahun silam itu kembali ramai diperbincangkan. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membawanya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pekan lalu. Ia menuduh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya Raya, berperan penting dalam peristiwa menjelang akhir kekuasaan Orde Baru tersebut. Menurut Hasto, tentara juga mengetahui persis penyerbuan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, itu.
Tak dapat dibantah, pengaduan Hasto itu bermotif politik. Orang mudah saja menghubungkannya dengan berbagai komentar Yudhoyono tentang Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Silang kata di media massa muncul setelah Yudhoyono menyatakan partainya tak bisa berkoalisi dengan Presiden Joko Widodo karena terhalang penolakan Megawati. Hubungan keduanya memang tak pernah bisa dipulihkan sejak pemilihan presiden 2004. Dalam perseteruan politik ini, memanfaatkan peristiwa berdarah di masa lalu sungguh kelewat batas.
Kerusuhan 27 Juli masih menyisakan luka dan berderet pertanyaan. Tim investigasi Komnas HAM yang dipimpin Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa menyimpulkan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia. Lima orang tewas, 149 orang terluka, dan 23 hilang. Lebih dari dua puluh tahun berjalan, tak satu pun hasil penyelidikan bisa mengungkap otak dan motif penyerbuan itu.
Kepolisian pernah menetapkan Sutiyoso, yang saat itu menjabat Panglima Kodam Jaya, sebagai tersangka. Namun penyidikan menguap di tengah jalan. Pemerintah terus saja gagal menuntaskan kasus ini. Jokowi bahkan mengangkat Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.
Ketika menjadi presiden, Megawati juga tak berbuat banyak. Logikanya, ia dulu tak mungkin menggandeng Yudhoyono ke kabinet jika mengetahui sang jenderal terlibat peristiwa 27 Juli. Ternyata Yudhoyono ia angkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Pengadilan koneksitas tak pernah terbentuk. Keinginan menuntaskan peristiwa 27 Juli hanya menjadi pemanis bibir para politikus. Bahkan ketika PDI Perjuangan kembali berkuasa dengan menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai presiden, penyelidikan berbagai kejahatan kemanusiaan itu tak pernah beranjak.
Jika serius, PDI Perjuangan bisa memanfaatkan posisinya sebagai partai penguasa untuk melanjutkan keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka memiliki tangan kuat di eksekutif maupun legislatif. Dengan begitu, mereka tak akan dituduh memanfaatkan tragedi berdarah hanya untuk menekan lawan politik.