Mahkamah Konstitusi semestinya menolak gugatan uji materi tentang aturan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi kita sudah sangat jelas mengatur jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal dua periode.
Sebagai lembaga yang menguji keabsahan undang-undang terhadap UUD 1945, Mahkamah seharusnya kembali ke aturan konstitusi. Ketentuan yang diuji materi, yakni Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, adalah aturan turunan pembatasan masa jabatan calon presiden dan wakil presiden di UUD 1945. Aturan penjelasan pasal itu bahkan menyebutkan pembatasan dua periode tak harus berturut-turut. Dengan demikian, dalil uji materi bahwa pasal itu bertentangan dengan konstitusi sangat tidak beralasan.
Sembilan hakim konstitusi yang mengadili gugatan juga perlu mempertimbangkan bahwa aturan pembatasan tersebut terbit sebagai amanat reformasi. Mahkamah Konstitusi, yang lahir dari rahim reformasi, tidak boleh mengingkari hal ini. Bukan sekadar itu, pembatasan masa jabatan juga merupakan bagian dari cita-cita demokrasi yang menghendaki sistem oligarki dan politik dinasti, yang telah terbukti menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti pada era Orde Baru, tidak kembali terulang.
Permohonan uji materi aturan itu, yang sudah dua kali diajukan, sangat kentara bau kepentingan politiknya. Dalam permohonan pertama, pihak pemohon beralasan menggugat karena ketentuan itu dianggap merintangi Jusuf Kalla kembali maju menjadi pendamping Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019. Sebelum menjadi wakil Jokowi, Kalla pernah berduet dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2009. Mahkamah menolak gugatan itu karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa hanya partai baru yang tak terlibat membuat undang-undang tersebut yang berhak mengajukan uji materi.
Dengan dalil partai baru yang tidak terlibat dalam pembuatan undang-undang, Rabu pekan lalu atau 24 hari menjelang tenggat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus mendatang, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) menggugat aturan pembatasan masa jabatan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Adanya "udang" di balik gugatan itu semakin kentara setelah Jusuf Kalla, melalui pengacaranya, mengajukan diri sebagai pihak terkait atas gugatan Perindo tersebut.
Mahkamah tengah mempertimbangkan mempercepat putusan agar tak melampaui tenggat pendaftaran calon presiden dan wakilnya. Rencana mempercepat putusan sah-sah saja dilakukan demi kepastian hukum. Hal yang diharamkan adalah hakim konstitusi tidak profesional dan terlibat kepentingan politik praktis saat mengambil putusan. Indikasi ini bisa jadi benar jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut.
Putusan yang akan keluar soal ini menjadi pertaruhan besar bagi Mahkamah Konstitusi. Jika Mahkamah keliru membuat putusan, selain bisa dinilai melanggar konstitusi, demokrasi kita akan rusak binasa karena kepentingan sesaat segelintir orang.