Acep Iwan Saidi
Pembelajar Semiotika ITB
Kunci kemenangan calon presiden dalam pemilihan presiden 2019 berada di tangan calon wakil presidennya. Salah memilih pasangan, sebagai calon presiden, Jokowi dan Prabowo (jika mau mencalonkan diri lagi) akan menderita kekalahan. Suara Jokowi dan Prabowo sendiri telah definitif, sulit dikembangkan lagi. Kini, calon wakilnyalah yang akan menjadi magnet penambah suara yang signifikan.
Lantas, siapa yang akan dipilih Jokowi? Lima nama konon telah dikantongi. Beberapa orang telah eksplisit disebut, yakni Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Airlangga Hartarto, dan Mahfud Md. Sementara itu, tiga calon lain telah diinformasikan secara metaforis oleh Megawati dengan istilah "secerah matahari dari timur". Tidak ada lagi yang dari timur jika bukan Tuan Guru Bajang (TGB), Abraham Samad, dan Din Syamsudin.
Jika memilih "kawan sekubangan", Jokowi harus bekerja keras. Polarisasi seperti 2014 akan sangat mungkin terulang. Jika memilih tokoh dari partai oposisi atau pihak lain yang berseberangan-sebut saja dari lingkaran 212-Jokowi juga akan mengalami kendala. Tokoh yang dipilih akan sangat mudah untuk disebut sebagai "pengkhianat".
Bagaimana dengan teman lama, Jusuf Kalla (JK)? JK memang masih tampak berminat tinggal lebih lama di Istana. Didampingi Partai Persatuan Indonesia, JK maju menguji peraturan yang melarangnya menjadi wakil presiden lagi ke Mahkamah Konstitusi. Akan menangkah? Yang lebih penting adalah akankah Jokowi kembali meminang JK?
Bisa jadi JK memang masih memiliki pemilih fanatik. Tapi paket lama biasanya susah dijual. Konteksnya sudah jauh berubah. Usia JK yang sudah sepuh juga bisa menjadi titik lemah yang bisa "dimanfaatkan" lawan dan terlalu sulit pula membetot "efek Mahathir Muhammad" ke sini.
Jadi, siapakah yang mesti dipinang Jokowi? Mau tidak mau, Jokowi harus mengambil wakilnya bukan dari lingkaran terdekat, bukan dari partai politik, dus bukan dari lingkaran 212. Jokowi harus mengambil "sosok antara". Tokoh itu harus mampu menjadi jembatan, berada di antara Istana dan oposisi, dan secara umum berada di antara pihak-pihak yang sejauh ini berseberangan. Dalam kebudayaan Sunda, ia adalah Si Lengser, sosok yang mewakili pemilik rumah untuk menyambut tamu tapi tidak berada di dalam rumah; berdekatan dengan tamu tapi tidak berada di tengah-tengah tamu. Di posisi ini, kita bisa bertemu dengan beberapa nama, yakni KH Makruf Amin, Mahfud Md., Said Aqil Siroj, Abraham, dan Din. Tentu saja Jokowi juga harus mempertimbangkan usia, kemampuan finansial, basis massa yang jelas, dan lain-lain.
Di antara nama itu, Din kiranya yang paling memenuhi kriteria. Langkah "matahari timur" ini ke Istana lebih cantik. Ketika hiruk-pikuk kasus Ahok dan pemilihan Gubernur DKI, Din dengan lantang menyatakan akan memimpin umat untuk melawan jika umat Islam terus-menerus disakiti. Posisi Muhammadiyah dalam kasus ini juga berbeda dengan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah tampak berada di tengah, sedangkan NU condong ke Istana. Din lantas melangkah ke Istana melalui jalur "netral" pula, yakni menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Tidak ada catatan miring Din di lingkaran 212, juga ketika pilihan menjadi utusan tersebut diambilnya.
Tapi, tanda-tanda politik masih akan terus berelasi, saling menggenapkan sekaligus bisa saling meruntuhkan pesan yang dibangunnya. Merujuk pada semiotika Peircian, sampai pada saat deklarasi atau pendaftaran pada 4-10 Agustus nanti, posisi tanda akan tetap berkutat pada level sinsign, menunjuk ke referen yang spesifik tapi tidak legitimate (legisign). Dalam perspektif semiotika Barthesian, Jokowi masih akan terus bermain pada kode hermeneutic, kode yang mengirim pesan multitafsir, situasi yang terus-menerus menegangkan.
Dalam permainan tanda demikian, kita juga boleh menyebut satu tokoh yang sebelumnya sempat populer, yakni Gatot Nurmantyo. Bagi Jokowi, Gatot sebenarnya adalah "sosok di antara" itu. Sebagai militer humanis berbasis kebudayaan Tegal yang egaliter, Gatot dapat melengkapi Jokowi, sipil dari Solo yang basis kebudayaannya cenderung halus dan memusat ke keraton.
Tapi semua akan terpulang kepada Jokowi. Jokowi memang telah memasukkan nama-nama calon pendampingnya itu ke dalam kantongnya. Dan ia tidak akan mengeluarkannya secara acak atau sambil menutup mata.