Pemerintah harus menghentikan kebiasaan mengangkat pendukung Presiden Joko Widodo untuk menduduki kursi komisaris di badan usaha milik negara tanpa melihat kompetensinya. Langkah tersebut bisa mencederai prinsip kehati-hatian dalam mengelola perusahaan pelat merah.
Main asal tunjuk itu terlihat pada pengangkatan Ali Mochtar Ngabalin baru-baru ini. Belum dua bulan dilantik sebagai Tenaga Ahli Utama Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, politikus Golkar tersebut diangkat sebagai anggota dewan komisaris PT Angkasa Pura 1. Pelantikan Ngabalin itu mengundang tanda tanya lantaran dia tidak memiliki latar belakang di bidang transportasi udara.
Pengangkatan itu juga menambah panjang daftar relawan dan orang-orang dari partai pendukung Jokowi yang menduduki posisi penting di perusahaan negara. Setidaknya 21 bekas relawan kini menjabat komisaris perusahaan pelat merah. Salah satunya adalah Diaz Hendropriyono, anak Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono. Bekas Ketua Tim Sukses Kawan Jokowi-salah satu sayap relawan-itu menjabat komisaris PT Telkomsel.
Sebetulnya ini bukanlah hal baru. Bagi-bagi kursi komisaris juga terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Beberapa komisaris BUMN di era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bekas tim sukses pada masa pemilihan presiden, di antaranya Ketua Tim Sekoci Mayjen (Purn.) Soeprapto dan Sekretaris Jenderal Tim Kampanye Mayjen (Purn.) Samsoedin. Mereka dinilai berjasa dalam menjaring suara.
Memang, tak ada pelanggaran aturan atas penunjukan itu. Pemerintah adalah pemegang saham BUMN. Sebagai pemegang saham, pemerintah berhak memilih orang untuk ditempatkan di sana. Pengangkatan mereka ditengarai sebagai cara presiden membayar utang budi politik. Juga sebagai "kompensasi" atas jabatan lain dari orang yang ditunjuk. Kompensasi diberikan karena gaji dari jabatan lain itu dianggap kurang, sehingga perlu "suplemen" untuk menambah penghasilan. Tapi kebiasaan yang sudah menjadi tradisi itu tidak dapat dibenarkan.
Komisaris bukanlah jabatan politik. Posisi itu mesti diisi oleh orang dengan kompetensi yang memadai. Prinsip the right man on the right place haruslah menjadi acuan utama. Karena itu, pemilihan komisaris sebaiknya melewati proses seleksi yang ketat. Analisis atas rekam jejak serta kompetensi diperlukan demi terwujudnya tata kelola perusahaan yang baik, terbuka, dan profesional.
Sebagai wakil pemerintah, komisaris bertugas mengawasi kinerja direksi, termasuk memberi masukan strategis bagi pengembangan perusahaan. Proses itu akan terganggu bila seseorang dari kalangan relawan atau partai politik memegang posisi kunci tanpa mengerti tugas yang diemban.
Penunjukan yang serampangan akan membuat fungsi pengawasan terabaikan, dan ujung-ujungnya merugikan perusahaan. Jokowi, yang pada saat kampanye pemilihan presiden berjanji akan mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan bebas kolusi, seharusnya mempertimbangkan soal ini. Jangan sampai dalam menentukan komisaris perusahaan, pemerintah terjebak politik balas budi.