BURSA Efek Indonesia menampakkan dua wajah di bawah kepemimpinan Tito Sulistio, yang berakhir bulan lalu. Perusahaan pengelola perdagangan saham itu semestinya mempraktikkan tata kelola yang baik. Namun, di bawah Tito, menurut hasil audit Otoritas Jasa Keuangan, BEI banyak menjalankan laku bisnis abu-abu.
Memimpin Bursa Efek sejak Juni 2015, Tito sebenarnya mencatat hasil lumayan. Pada penutupan perdagangan akhir 2017, indeks harga saham gabungan mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa. Jumlah investor aktif meningkat 110 persen. Jumlah dana yang terhimpun juga disebutkan merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, yakni mencapai lebih dari Rp 802 triliun. Sayangnya, di balik catatan positif itu, Tito tidak memegang akuntabilitas keuangan yang seharusnya menjadi contoh perusahaan-perusahaan peserta bursa.
Sejumlah penyelewengan yang diduga melibatkan Tito terjadi cukup lama. Pada audit 2017, OJK menemukan tujuh pelanggaran yang dilakukan Tito. Dua di antaranya menyebutkan, pemain saham senior itu menggunakan kas perusahaan untuk kepentingan pribadi. Ia juga disebutkan menggunakan uang perusahaan tanpa pertanggungjawaban.
Temuan lain berkaitan dengan investasi yang tidak jelas dan tak menguntungkan. Keputusan bisnis ini disebutkan memiliki niat buruk. Indikasinya, penanaman dana dilakukan melalui perusahaan manajemen aset yang terafiliasi dengan Melchias Marcus Mekeng, politikus Partai Golkar sahabatnya, yang menjadi penasihat senior pada perusahaan investasi itu. Padahal bunga yang dihasilkan dari investasi lebih rendah daripada yang ditawarkan bank negara dan bahkan bank daerah.
Tito mengambil keputusan sendiri untuk investasi BEI. Ia tidak melibatkan Komite Investasi, yang seharusnya berperan menentukan penanaman dana perusahaan. Ia bahkan mengganti semua anggota Komite pada awal 2017. Mereka tak pernah sekali pun menggelar rapat sejak dilantik.
Sebenarnya BEI memiliki Komite Audit. Namun komite yang seharusnya bertugas mengawasi dan menindaklanjuti temuan penyelewengan pada manajemen ini hanya menjadi pelengkap organisasi. Tito mengerdilkan bagian organisasi penting ini menjadi tak bergigi.
Dalam situasi ini, perlu dipertanyakan fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap BEI. Sejak 2013, OJK menjadi lembaga yang mengawasi pasar modal menggantikan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Berbekal mandat ini, OJK melakukan audit pada Bursa Efek. Sayangnya, temuan-temuan yang dihasilkan tidak ditindaklanjuti dengan keputusan yang tegas.
OJK beberapa kali memberikan peringatan. Namun, meski temuan berulang, tidak pernah ada perbaikan yang dilakukan. Tito tetap bisa memimpin bursa hingga akhir jabatan. Ia bahkan mengikuti seleksi direktur utama untuk periode berikutnya, meski dinyatakan tidak lolos pada tahap seleksi.
Sudah semestinya manajemen baru di bawah Direktur Utama Inarno Djayadi tidak mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya. Pelbagai penyelewengan manajemen pengelola pasar modal itu bisa mengganggu kepercayaan investor, baik dalam negeri maupun internasional.
OJK sebagai pengawas pasar modal sepatutnya lebih tegas dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh lagi membiarkan kesalahan terus berulang, dengan alasan apa pun. Jangan sampai bobroknya keuangan BEI terus terjadi di tengah gencarnya kampanye akuntabilitas transaksi lembaga-lembaga keuangan.