ATURAN Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal susu kental manis datang terlambat. Setelah beberapa tahun silam sejumlah penelitian menyebutkan bahwa susu kental manis ternyata nir-susu, BPOM baru melansir ketentuan pada Mei lalu.
Itu pun sebatas pengaturan label dan iklan. Mereka melarang visualisasi yang menyetarakan susu kental manis dengan produk susu lain sebagai pelengkap gizi. Produsen juga dilarang memvisualkan penyajian secara diseduh, menampilkan anak di bawah umur lima tahun dalam reklame dan kemasan, serta mengiklankan produk itu di acara anak-anak.
Iklan kental manis memang menyesatkan. Mengkonsumsi dua gelas kental manis sehari digembar-gemborkan membuat tubuh mendapat asupan gizi maksimal. Dengan takaran minimal dua sendok makan per gelas, ada 42 gram gula masuk ke tubuh kita lewat kental manis. Itu sama dengan batas maksimal konsumsi gula harian versi Kementerian Kesehatan. Iklan seperti ini melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang melarang iklan memuat informasi yang keliru, termasuk mengelabui konsumen perihal kualitas, kuantitas, bahan, dan kegunaan barang. Ancaman hukumannya penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.
Bagi orang dewasa, anjuran minum dua gelas kental manis per hari sama dengan mengantar tubuh ke jurang diabetes. Bagi anak-anak, rasa manis berlebih membuat mereka kenyang prematur dan ogah makan. Ujung-ujungnya, muncul kasus gizi buruk, akibat meminum "susu nir-susu". Di Kendari, awal tahun ini, sejumlah anak balita menderita gizi buruk akibat terlalu sering mengkonsumsi susu-padahal-gula. Aturan itu tak digubris produsen. Gambar anak tersenyum sembari menggenggam gelas berisi susu masih terpampang, meski sebagian merek hanya menyisakan "kental manis" di label kemasan sejak beberapa waktu lalu.
Kehebohan baru merebak setelah surat BPOM tersebut tersebar lewat media sosial awal bulan ini. Media mengutip Kepala BPOM Penny Lukito yang menyebut susu kental manis tidak mengandung susu-kemudian diralat menjadi "tidak mengandung padatan susu". Produsen berjanji mengubah kemasan susu kaleng. Tapi, hingga kini, tidak satu pun dari mereka yang merasa bersalah atas pembohongan puluhan tahun tersebut. Tak ada pula tindakan tegas atas praktik tersebut.
Badan Pengawas seharusnya menyatakan kental manis bukanlah susu. Banyak pakar gizi dan dokter yang menyatakan produk kalengan tersebut tidak masuk kategori susu karena separuh komponennya adalah gula dan hanya mengandung 2 persen protein untuk kategori krimer kental manis dan 7,5 persen pada susu kental manis. Bandingkan dengan susu formula, yang mencapai 18 persen. Pencabutan kata "susu" dari "susu kental manis" tampaknya sekadar membuat masyarakat menerima pesan itu sebagai anjuran untuk tidak menyeduh kental manis seperti susu bubuk.
Selayaknya Badan Pengawas bergerak ke produk lain dengan kasus serupa. Misalnya jus kemasan yang diilustrasikan penuh sari buah tapi kandungannya didominasi gula. Dengan niat melindungi orang banyak dari diabetes dan obesitas, BPOM tak perlu risau pada tuduhan produsen bahwa keputusan mereka didorong perang dagang.