PERINTAH Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis agar anak buahnya menembak mati begal dan penjambret menunjukkan rasa frustrasi polisi menangani kejahatan jalanan. Menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum merupakan tindakan yang tak menyelesaikan masalah.
Kejahatan jalanan tak seperti terorisme, yang dilakukan dengan terencana, mengincar banyak korban, dan dilandasi ideologi tertentu. Kejahatan jalanan merupakan buah persaingan penduduk berebut kue ekonomi.
Menembak mati begal tanpa proses hukum jelas melanggar hak asasi manusia. Tindakan kurang-lebih serupa pernah dilakukan pemerintah Orde Baru dengan praktik penembak misterius pada 1980-an. Ketika itu, ratusan orang ditemukan menjadi mayat hanya karena diidentifikasi sebagai preman-kadang-kadang lewat ciri-ciri yang sulit dipertanggungjawabkan, misalnya hanya karena orang itu bertato. Alih-alih secara permanen membasmi kejahatan, orang tak bersalah menjadi korban.
Di Honduras dan Guatemala, operasi tumpas kelor polisi terhadap kejahatan jalanan tak membuat mereka kapok. Laporan Bank Dunia pada 2013 menyebutkan, perdagangan obat dan perampokan di sana turun 20 persen setelah pemerintah memecat sekitar 25 ribu polisi yang korup.
Di negara itu, pangkal soalnya adalah perkongsian penjahat dengan polisi. Setelah polisi dipecat, jumlah begal turun drastis. Honduras tak lagi menjadi negara paling berbahaya di Amerika Latin. Di Indonesia, belum ada bukti polisi melindungi para begal. Meski begitu, kepolisian perlu mencari tahu apabila ada anggotanya yang main mata dengan penjahat jalanan.
Perintah tembak mati begal di tempat tak hanya terjadi di Jakarta. Ekornya sampai ke daerah sejak Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian pada Lebaran lalu memerintahkan dengan tegas membunuh para begal yang merampok para pemudik. Di Jakarta dan sejumlah daerah, operasi menyikat para begal dilakukan untuk mengamankan pergelaran Asian Games ke-18 pada Agustus-September nanti.
Pembegalan memang kejahatan yang mencemaskan karena kini dilakukan di tempat-tempat keramaian atau di jalanan yang macet. Penduduk Jakarta yang kian banyak memakai ojek aplikasi menjadi sasaran empuk. Kebiasaan orang Jakarta membaca berita dan bertukar pesan melalui telepon seluler di tempat umum memancing begal yang mengincar telepon pintar.
Polisi tampaknya harus lebih sering berpatroli. Menambah jumlah kamera di jalan akan mempermudah kerja polisi mengejar para begal dan komplotannya. Menurut data kepolisian Jakarta, ada dua geng begal besar yang acap merampok korbannya dengan cara kekerasan memakai senjata tajam dan senjata api. Polisi tak boleh ragu mengungkap jaringan bahkan beking kedua kelompok tersebut.
Kepolisian Jakarta sebetulnya berhasil menurunkan angka kejahatan jalanan sebesar 21 persen pada 2017 dibanding tahun sebelumnya. Polisi harus mencari tahu mengapa belakangan ini kejahatan serupa kembali marak. Menangani kejahatan dengan kekerasan jelas melanggar asas praduga tak bersalah dan mendorong kejahatan terjadi lebih masif lagi.