KOMISI Pemberantasan Korupsi tak perlu ragu menjadikan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sudah terlalu lama kasus ini terkatung-katung meski para penyidik telah punya cukup bukti untuk menjerat pemilik perusahaan Gajah Tunggal itu dengan sangkaan korupsi dan kolusi.
KPK telah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin A. Temenggung, sebagai tersangka. Ia pejabat negara yang memberikan surat keterangan lunas atas utang Sjamsul kepada negara. Audit dan penyidikan KPK menemukan, pengusaha Orde Baru itu tidak menunaikan seluruh kewajibannya.
Syahdan, pada 1998, akibat krisis ekonomi, pemerintah mengucurkan BLBI kepada sejumlah bank yang kesulitan likuiditas. Ketika ekonomi makin terpuruk, atas mandat Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah menutup 16 bank. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul mendapat kucuran Rp 30,9 triliun dari total Rp 144,5 triliun dana BLBI.
Sjamsul memang mengembalikan sebagian utangnya. Namun BPPN menemukan ada yang tak beres dalam pelunasan itu. Salah satunya, Sjamsul dianggap melakukan kebohongan dengan menyatakan piutang kepada pihak ketiga sebagai aset lancar. Kenyataannya, piutang tersebut dalam kondisi macet.
Meski demikian, Kepala BPPN Syafruddin Temenggung mengeluarkan surat keterangan lunas atas nama Sjamsul Nursalim. Surat tersebut menyatakan Sjamsul telah menyelesaikan kewajiban Rp 28,4 triliun. Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil audit investigasi atas pemberian surat lunas itu. Hasilnya, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun. Alih-alih melunasi sisa utang, Sjamsul malah mengaku sakit, lalu pergi ke Singapura.
KPK mengklaim telah menemukan bukti kolusi antara Syafruddin dan Sjamsul dalam penerbitan surat lunas tersebut, juga aliran suap ke banyak pejabat di era Megawati. Syafruddin telah menjadi tersangka dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, maka selayaknya Sjamsul dijerat karena menikmati keuntungan dari penyalahgunaan itu.
Selama tiga tahun KPK tersandera soal sepele: surat panggilan pemeriksaan tak pernah diterima pengusaha itu. Surat panggilan ke rumah dan tiga apartemennya di Jakarta dan Singapura selalu kembali ke kantor KPK. KPK tak ingin mengulangi kasus Budi Gunawan: menetapkan status tersangka tanpa didahului pemeriksaan tertuduh. Budi-kini Kepala Badan Intelijen Negara-yang disangka melakukan pencucian uang, menggugat KPK ke majelis praperadilan. Di pengadilan, KPK kalah: penetapan tersangka kepada Budi dianggap cacat hukum karena diambil sebelum sang calon pesakitan diperiksa Komisi.
Meski pernah kalah telak, KPK semestinya tak khawatir hal itu bakal terulang dalam kasus Sjamsul. Berbeda dengan Budi Gunawan yang belum pernah dipanggil, Sjamsul, yang berada di Singapura bertahun silam, telah dikirimi surat. Sepanjang memiliki bukti telah memanggil Sjamsul, Komisi tak perlu khawatir kalah. KPK memang harus membuktikan bahwa alamat-alamat pemanggilan itu merupakan tempat tinggal Sjamsul-yang dicek silang lewat dokumen resmi. Selain dipanggil di rumahnya, Sjamsul bisa dipanggil melalui pengacaranya. Sebab, meski raib, ia terbukti bisa menugasi peguam untuk mewakilinya menangani perkara hukum ini.
Kenyataan Sjamsul bisa menyewa ahli hukum meski tak tentu rimbanya ketika dikirimi surat semestinya akan menjadi pertimbangan hakim praperadilan. KPK bahkan bisa menjerat Sjamsul dengan tuduhan menghalangi penyidikan jika ia terus-menerus menghindar.
Pengusutan perkara Sjamsul ini harus segera dituntaskan. Menjerat Sjamsul bisa membuka pintu lain: mengusut lebih banyak orang yang terlibat dalam perkara BDNI dan menelusuri aliran suap ke banyak orang dalam rangka memanipulasi jumlah utang yang harus dibayarnya ke negara. Surat lunas tentu bukan hanya urusan BPPN, melainkan juga Komite Kebijakan Sektor Keuangan.
Menjerat Sjamsul adalah simbol penegakan hukum oleh KPK. Ia pengusaha yang dekat dengan keluarga Presiden Soeharto, juga sejumlah presiden setelahnya. Kroniisme dan keluasan jaringannya membuat dia tak tersentuh hukum. Jika KPK ragu menyeretnya ke muka hukum, lembaga itu akan membenarkan anggapan bahwa hukum di republik ini tak kuasa menyentuh orang kuat yang suka mengangkangi kekuasaan dengan uangnya.