Republik Indonesia negara besar. Penduduknya lebih dari 260 juta. Tapi betapa sulitnya mencari presiden. Empat tahun lalu, yang maju bertanding dalam "pilpres" adalah Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Tahun depan, kalau tak ada kejutan, lagi-lagi hanya dua nama itu yang bertarung.
Jokowi berpeluang menang. Prabowo juga begitu. Tapi semestinya setiap warga negara yang cakap dan mampu punya kesempatan seperti mereka. Dalam pencalonan presiden, sayangnya kesempatan semua warga negara belum setara. Ada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang membatasi hak warga negara untuk ikut mencari tiket ke Istana.
Pasangan calon presiden wajib mendapat dukungan partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara dalam pemilu sebelumnya. Kalimat "dalam pemilu sebelumnya" ini kurang adil-itu sebabnya sekelompok orang sedang menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi.
Keadaan itu bisa digambarkan begini: "tiket" menuju Istana pada Pemilu 2014 ternyata dipakai lagi pada 2019. Semestinya "tiket" yang sudah dipakai harus dirobek. Kondisi politik berubah, tidak masuk akal kalau "tiket kedaluwarsa" dipakai lagi.
Calon presiden 2019 semestinya mencari tiket tahun itu juga. Apalagi pemilihan anggota DPR dan presiden pada 2019 akan diselenggarakan pada saat yang sama. Idealnya, partai yang memenuhi syarat ikut Pemilu 2019 berhak mengajukan satu pasangan calon presiden-selain mengajukan calon anggota DPR. Lebih praktis. Komisi Pemilihan Umum hanya perlu sekali bekerja: meneliti persyaratan partai untuk ikut pemilu, sekaligus kelengkapan syarat calon presiden.
Kalau ingin jagonya menang, tentu partai akan mengusung calon presiden yang berorientasi kerja dan punya prestasi. Dampaknya bagus. Rakyat terhindar dari calon yang cuma suka mematut-matut diri, hanya peduli urusan elektabilitas, dan suka membuat acara "tabur uang". Jika Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 222 itu, terbukalah peluang bagi kepala daerah yang sukses, menteri yang berprestasi, atau pemimpin partai yang bagus programnya, juga pimpinan korporasi yang andal, untuk maju.
Syarat dukungan 20 persen yang berlaku sekarang juga membuat orang berebut menjadi pendamping pemegang "tiket" seperti Jokowi. Romahurmuziy, Ketua Umum PPP, sampai perlu tampil membawa gitar dan menyanyi di iklan televisi. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memasang baliho besar di mana-mana. Tentu usaha yang perlu dana besar itu bukan praktik terlarang, walaupun banyak orang ragu akan efektivitasnya.
Di kubu Prabowo, partai pendukungnya mulai sibuk mengusung Gubernur Jakarta Anies Baswedan sebagai wakil presiden Prabowo. Ada juga kelompok yang utak-atik menyiasati syarat 20 persen itu. Mereka memikirkan Poros Ketiga, dengan Jusuf Kalla sebagai calon presiden. Kabarnya, Anies Baswedan juga masuk radar kelompok ini, juga Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai wakil presiden.
Tidak ada salahnya orang muda punya ambisi. Kalkulasi mereka mungkin begini: kalau bukan sekarang tampil "menjual muka" ke seantero Nusantara, mungkin pada 2024 (ketika Jokowi tak bisa dipilih lagi) mereka masih tercecer di "pinggiran" arena persaingan. Kalau bukan sekarang, barangkali pada 2024 lapangan sudah "becek" dengan banyaknya pemain.
Tanpa perubahan undang-undang yang melonggarkan syarat presiden, ambisi menjadi presiden dikhawatirkan mencari saluran yang kurang demokratis, misalnya mengeksploitasi sentimen agama demi mendongkrak suara. Masih terbuka kesempatan memperbaiki undang-undang itu, dan bisa diawali dengan perubahan Pasal 222 oleh Mahkamah Konstitusi. TORIQ HADAD