Rio Christiawan
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk melegalkan keberadaan ojek online sebagai sarana angkutan yang sah. Menurut putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018, sepeda motor bukan kendaraan umum karena bukan kendaraan umum yang layak dari segi keselamatan. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tanpa dasar hukum yang sah, situasi ini merugikan semua pihak, baik konsumen maupun pengemudi ojek.
Putusan MK itu bisa dibilang sekadar memenuhi aspek legal formal. Hakim hanya bertindak sebagai corong undang-undang. Putusan itu miskin nilai karena tidak mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Jika ojek online dinyatakan tidak dapat dijadikan kendaraan umum, mengingat faktor keselamatan, pertimbangan ini sebenarnya agak naif. Pada prinsipnya sepeda motor adalah moda transportasi yang aman dikendarai oleh seorang pengemudi dan seorang penumpang, sebagaimana komposisi pengemudi dan konsumen ojek. Putusan MK tersebut tidak disertai data dan fakta empiris mengenai keselamatan berkendara. Justru putusan itu kini menimbulkan kegundahan bagi seluruh pemangku kepentingan ojek online. Putusan itu juga bertentangan dengan peta jalan Making Indonesia 4.0 yang menghubungkan warga lintas negara melalui jaringan dan kecerdasan buatan sebagaimana bisnis model ojek online.Bagaimana menyikapi putusan MK tersebut? Pemerintah tentu tak serta-merta dapat melarang ojek online karena akan menimbulkan dampak negatif, baik secara sosial maupun ekonomi. Pendekatan terhadap persoalan ini tidak mungkin dilakukan secara legal formal karena beririsan dengan aspek sosial dan ekonomi.
Pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan ekonomi atas hukum (economic analysis of law). Jikapun ojek online dinyatakan ilegal, konsumen akan beralih kembali pada ojek konvensional. Maka, moda transportasi ojek tetap akan ada. Padahal, ilegalitasnya bukan karena online atau tidak, melainkan karena jenis kendaraannya. Sepeda motor dianggap bukan moda transportasi umum dari sudut Undang-Undang Lalu Lintas. Dalam hal ini, putusan MK tersebut bukan untuk mematikan industrinya, melainkan titik balik penyusunan regulasi ojek online yang hingga saat ini belum ada dasar hukumnya.
Fokus utamanya adalah perlindungan konsumen sebagai pengguna ojek online, sehingga aturan hukum harus dibuat sebagai jembatan keterlibatan pemerintah dari segi pengawasan. Tanpa dasar hukum, hubungan antara konsumen dan ojek online sebagai pemberi jasa mutlak berada dalam ranah privat, sehingga pemerintah tidak dapat ikut campur mengawasi. Hal ini bertentangan dengan semangat diciptakannya ojek online sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen.
Sosiolog Roscoe Pound menyatakan bahwa hukum adalah alat rekaya sosial. Dalam kasus ojek online, hukum dapat menjadi media yang efektif dalam mengatur hubungan konsumen dan ojek sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat ojek online tersebut.
Hukum tidak boleh menghambat kebutuhan masyarakat. Jika pemerintah tidak segera membuat peraturan mengenai ojek online, akan tercipta kondisi anomi, yakni kekosongan norma yang dapat menyebabkan kekacauan. Ujung-ujungnya, hal ini akan merugikan semua pihak dan langkah mundur di era Revolusi Industri 4.0.
Pemerintah harus segera menyusun regulasi bagi ojek online ini guna menjaga momentum ekonomi terhubungnya warga negara yang satu dengan yang lainnya melalui jaringan Internet dan kecerdasan buatan. Dalam menyusun regulasi itu, pemerintah harus mempertimbangkan pula faktor sosial-ekonominya.