Toriq Hadad
@thhadad
Ketika tim Jepang melawan Belgia di babak 16 besar Piala Dunia Rusia, Selasa dinihari lalu, saya memilih tidak menonton. Saya tidur lebih cepat. Tapi saya berpesan kepada anak saya, remaja kelas III SMP yang lagi keranjingan sepak bola, untuk membangunkan saya pada babak kedua jika skor Jepang versus Belgia masih imbang. Sejujurnya, saya yakin akan tidur terus sampai subuh. Saya kira Belgia menggilas Jepang sejak babak pertama.
Kalimat anak saya, "Pak, Jepang menang 1-0," membuat saya melompat dari tempat tidur. Pertandingan babak kedua baru berjalan tiga menit. Belum sempat mata melek benar, Takashi Inui mencetak gol dari jarak jauh. Belgia dengan segudang bintang tertinggal dua nol. Anak saya yang sejak awal memihak Jepang tertawa senang melihat saya mengusap-usap mata seperti tak percaya.
Dari awal dia tidak setuju atas tulisan saya di Koran Tempo, edisi 20 Juni, ketika saya menulis: tak akan ada satu pun kesebelasan Asia dan Afrika yang lolos penyisihan grup. "Masak sih orang Asia dan Afrika enggak bisa main bola, Pak?" dia memprotes. Maka, ketika Jepang lolos sebagai satu dari sepuluh negara Asia dan Afrika di babak 16 besar, dia girang. "Ternyata ramalan Bapak salah," katanya cekikikan.
Saya membiarkan dia gembira. Saya yakin, dia pun tahu: kunci lolosnya Jepang dari Grup H adalah pertandingan melawan Kolombia. Pada menit ketiga, pemain Kolombia Carlos Sanchez diusir wasit dan Jepang mendapat hadiah penalti, yang dieksekusi Shinji Kagawa dengan sempurna. Kolombia, yang bermain dengan sepuluh orang, masih bisa membalas satu gol, walaupun akhirnya kalah 1-2. Jepang mencatat prestasi sebagai negara Asia pertama di Piala Dunia yang mengalahkan tim Amerika Selatan. Jepang lolos setelah menahan seri Senegal dan hanya kalah oleh Polandia. Saya juga tidak ingin mengurangi pujian untuk Jepang, walaupun mereka lolos hanya karena perbedaan fair play point alias jumlah kartu kuning yang lebih sedikit dari Senegal.
Ketika akhirnya Jepang kalah secara dramatis 2-3 melawan Belgia, saya mencoba menghibur anak saya. "Jepang sudah mencatat sejarah, Nak. Mereka sudah enam kali berturut-turut ikut Piala Dunia sejak 1998. Jepang ini sudah seperti Brasil-nya Asia dalam soal tampil di Piala Dunia. Tidak pernah absen. Di Rusia, mereka lebih hebat dari juara bertahan Jerman yang tidak lolos grup. Prestasi tim Samurai Biru sama dengan Portugal dan Argentina yang juga kalah di babak 16 besar. Padahal, tadinya Jepang bukan negeri sepak bola, tapi negeri sumo dan sejumlah olahraga bela diri," cerita saya.
"Kok, tiba-tiba Jepang hebat, Pak?" ujar anak saya.
"Tidak tiba-tiba, Nak. Mereka kerja keras membangun sepak bolanya mulai 1985. Tujuh tahun kemudian, mereka sudah punya kompetisi profesional J.League, dengan dukungan pemerintah dan swasta. Mulai 1998, mereka merebut tiket Piala Dunia dan tak pernah gagal datang di Piala Dunia, juga Piala Dunia usia 17 dan 20 tahun. Pembinaannya luar biasa bagus, berjenjang dan terencana," ujar saya.
"Kalau nanti tim Jepang ini datang ke Asian Games di Jakarta, kira-kira kesebelasan Indonesia nasibnya gimana, Pak?" ucap anak saya.
Saya agak gelagapan. Jadi, saya jawab seingat saya, "Indonesia di Asian Games Tokyo tahun 1958 lumayan juga lo, mendapat medali perunggu setelah menang atas India."
Rupanya anak saya tak puas dengan jawaban itu. "Tahun 1958 udah lama sekali. Bapak aja kan belum lahir waktu itu. Maksudku, kalau Indonesia nanti ketemu Jepang, Korea, Arab Saudi, Iran, terus kalahnya berapa? Bapak kan suka meramal, tuh. Coba ramal berapa gol," tanya dia.
Saya ketawa kecut, benar-benar tak punya jawaban. "Oh iya, Nak, sudah mau subuh. Kita tidur dulu, yuk."