Cita-cita menciptakan Indonesia tanpa korupsi terasa semakin sulit terwujud. Sekali lagi Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi. Kali ini yang dicokok adalah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Benar Meriah Ahmadi. Gubernur dan bupati ditangkap dalam satu kasus, sungguh ini rekor yang memalukan.
Penangkapan itu menambah panjang deretan coreng-moreng negeri ini. Sejak lembaga itu berdiri pada 2002, tercatat ada 78 kepala daerah yang diproses hukum, dari 92 kasus korupsi. Kepala daerah dan korupsi seperti dua hal yang tak terpisahkan.
Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan Irwandi dan Ahmadi ini membuat publik terhenyak. Irwandi adalah gubernur pertama sejak konflik pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berakhir pada 2006. Dia memimpin Aceh selama dua periode, 2006-2012 dan 2017-2022. Khalayak pun lalu bertanya-tanya tentang kemungkinan penyalahgunaan dana otonomi khusus yang digelontorkan pemerintah sejak 2006.
Dalam kasus ini, KPK baru mendapati kemungkinan penyalahgunaan dana otonomi tahun 2018 yang nilainya mencapai Rp 8 triliun.
KPK mencium jejak suap saat ada penyerahan uang Rp 500 juta dari pegawai swasta bernama Muyassir kepada Fadli-juga karyawan swasta. Setelah uang diterima, Fadli menyetor uang itu ke beberapa rekening. Komisi menduga uang Rp 500 juta itu merupakan pemberian Ahmadi kepada Irwandi dalam kaitan fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh 2018.
Hasil investigasi KPK juga mendapati dugaan Ahmadi meminta fee 10 persen kepada pengusaha yang menerima proyek. Dari fee itu, 2 persen masuk ke kantongnya, 8 persen ke gubernur.
Temuan pola permintaan fee 10 persen itu layak ditelusuri. KPK semestinya memeriksa proyek-proyek lain dari anggaran otonomi khusus itu. Jangan-jangan modus ini juga diterapkan di daerah lain.
Bancakan dana otonomi khusus yang dilakukan para kepala daerah ini sebenarnya sudah dikhawatirkan banyak kalangan. Aturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sangat membuka peluang korupsi para kepala daerah.
Dalam beleid itu disebutkan alokasi dana otonomi khusus yang disalurkan ke tingkat kabupaten tak lebih dari 40 persen. Selain itu, dananya tidak lagi ditransfer ke daerah, melainkan menjadi pagu di pemerintah provinsi. Akibatnya, pemerintah kabupaten yang ingin meminta dana harus mengajukan program sesuai dengan pagu yang ditetapkan gubernur dan disetujui DPR Aceh. Kewenangan besar di tangan provinsi inilah yang diduga menjadi celah gubernur untuk "bermain".
Pemerintah seharusnya menyusun mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Tanpa perombakan sistem pengawasan, kita setiap tahun tetap akan melihat betapa banyak kepala daerah menggarong uang negara, lalu tertangkap KPK. Sungguh mengerikan bila hal ini menjadi seperti siklus jahat yang tak bisa diputus.