Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan
Menurut rencana Kementerian Sosial, pada Agustus 2018 pemerintah akan memperluas jangkauan program bantuan pangan nontunai (BPNT) kepada 10 juta lebih keluarga penerima manfaat (KPM), naik hampir delapan kali lipat dari sasaran pada 2017 yang sebanyak 1,2 juta penerima. Itu berarti mekanisme baru penyaluran bantuan pangan pengganti Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) dan Beras Sejahtera (Rastra) itu mencakup 65 persen rumah tangga sasaran, yang sebesar 15,498 juta. Masyarakat yang belum terjangkau BPNT tak lagi menerima Rastra, melainkan diganti dengan bantuan sosial Rastra.
Skema BPNT digadang-gadang bakal menyempurnakan aneka kelemahan Raskin. Sampai tahun lalu, Raskin/Rastra belum memenuhi kriteria 6 tepat: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Empat kriteria pertama menjadi tanggung renteng sejumlah lembaga: Badan Pusat Statistik, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dua kriteria terakhir di bawah kendali Bulog. Bulog berhasil mengendalikan tepat administrasi, tapi belum tepat kualitas.
Dalam mekanisme baru ini, pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan Rp 110 ribu per bulan ke rekening rumah tangga sasaran berkartu debit. Uang itu hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan telur, di pengecer yang ditunjuk. Rakyat bisa memilih sendiri jenis dan jumlah berasnya.
Skema ini dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat dapat memilih beras sendiri. Tapi skema baru ini masih menyisakan persoalan serius. Pertama, harga pangan di luar Jawa relatif tinggi ketimbang di Jawa. Masyarakat di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang yang tinggal di Jawa. Kedua, besar bantuannya sama, padahal jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga berbeda. Ketiga, siapa yang mengontrol bila pangan yang dibeli kemudian dijual lagi untuk membeli rokok atau pulsa ponsel?
Lalu, bagaimana soal stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Raskin/Rasta terbukti amat efektif sebagai instrumen stabilisasi harga beras. Penyaluran 232 ribu ton beras per bulan atau 10 persen dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga. Ketika program ini diganti bantuan nontunai, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras. Fungsi stabilisasi harga beras kini sepenuhnya bergantung pada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP saat ini hanya 300-an ribu ton beras dengan kualitas medium. CBP mustahil bisa menjadi instrumen pemerintah untuk mengintervensi kegagalan pasar.
BPNT secara tidak langsung merupakan pengalihan tanggung jawab dari pemerintah kepada pasar. Penyediaan dan harga sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan hanya menyisakan bantuan sosial Rastra sepertiga dari jumlah semula, pasar beras akan fluktuatif. Manfaat bagi penerima bantuan jadi tidak pasti: manfaatnya besar saat harga rendah, tapi kecil saat harga tinggi. Ini membuat ketahanan pangan masyarakat miskin kian tak terjamin.
Bagaimana nasib Bulog? Dari tahun ke tahun target pengadaan beras (medium) oleh Bulog terus diperbesar. Ketika Bulog diwajibkan menyerap gabah/beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus pula ada gerai penyalurannya. Ketika Raskin/Rasta diubah menjadi bantuan nontunai, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Karena itu, tidak relevan untuk menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Tanpa gerai penyaluran yang pasti, bisa dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut. Bagi Bulog, setelah tugas pelayanan publik mengecil, mereka harus serius masuk usaha komersial.