Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Kombinasi kebijakan moneter ketat yang ditempuh Bank Indonesia (BI), lalu relaksasi aturan kredit dan perbaikan iklim investasi, memang diharapkan bisa menjadi senjata ampuh yang berfungsi ganda. Pertama, agar aset keuangan atau portofolio Indonesia tetap atraktif di mata investor sehingga tetap bergigi untuk menarik animo asing sekaligus mencegah terjadinya arus keluar modal. Kedua, agar investasi di sektor riil tetap berjalan dengan baik. Dengan demikian, BI tidak harus terjebak dalam pilihan dilematis di satu sisi serta pertumbuhan ekonomi pun tidak harus dikorbankan di sisi yang lain.
Masalah utama memang datang dari langkah bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 1,75-2 persen belum lama ini. Langkah tersebut memberikan sinyal kuat bahwa kenaikan lanjutan akan dilakukan dua kali lagi pada tahun ini.
Gubernur BI Perry Warjiyo secara tegas menyatakan bahwa peluang penaikan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate, terbuka lebar. Setelah menaikkan suku bunga acuan dua kali, kemungkinan besar suku bunga acuan akan dikerek lagi ke posisi 5 persen.
BI menyatakan kebijakan lanjutan yang ditempuh bertujuan untuk mengantisipasi perkembangan baru The Fed. BI tampaknya tidak ingin terlambat lagi, seperti pada kebijakan kenaikan suku bunga pertama pada 17 Mei lalu. Keterlambatan itulah yang dinilai sebagai biang keladi terpuruknya nilai tukar rupiah hingga menembus batas psikologis Rp 14.000 per dolar Amerika.
Ada sejumlah tujuan yang hendak dicapai dengan kenaikan lanjutan suku bunga acuan. Selain untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, BI ingin menjaga agar aset-aset keuangan Indonesia tetap atraktif di mata investor. Rencana BI menaikkan lagi suku bunga acuan rasanya cukup tepat, terutama untuk mencegah larinya modal asing dari pasar portofolio. Lihat saja, gelombang arus modal keluar tahun ini terbilang sangat deras. Di pasar saham, asing telah mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 43,44 triliun selama tahun berjalan (year to date).
Bagaimanapun, kenaikan suku bunga sebenarnya menjadi berita kurang produktif untuk prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengetatan likuiditas melalui kenaikan suku bunga tersebut haruslah dibarengi dengan kebijakan relaksasi, antara lain pelonggaran loan to value (LTV). Keringanan uang muka untuk kredit properti maupun otomotif diharapkan mampu mendongkrak konsumsi, yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Langkah BI untuk menyesuaikan diri dengan suku bunga global memang serba dilematis. Jika BI tidak mengikuti arus global dan tetap bertahan pada rezim bunga rendah, tidak hanya nilai tukar rupiah yang terancam, tapi juga aset-aset keuangan Indonesia akan ditinggalkan investor asing.
Langkah BI menaikkan suku bunga tentu akan memberikan implikasi kurang produktif, misalnya berupa penambahan energi untuk perlambatan ekonomi. Ekspansi kredit diperkirakan akan terhambat. Target untuk menggenjot pertumbuhan kredit dua digit akan semakin sulit terwujud. Tapi, apa boleh buat, BI tidak mungkin melawan arus utama kebijakan moneter global.
BI memang perlu menciptakan kebijakan lain sebagai penyeimbang agar ekonomi tumbuh sesuai dengan harapan. Apalagi ekonomi Indonesia bergerak relatif stagnan dalam dua-tiga tahun terakhir. Yang paling penting, kebijakan BI juga perlu ditopang penuh oleh kebijakan pemerintah, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi mutlak harus terus dibenahi, terutama di daerah. Keluhan utama para pengusaha adalah hambatan perizinan oleh pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan gembar-gembor pemerintah pusat.
Realisasi nyata dari paket kebijakan ekonomi harus terus dilanjutkan, sembari terus dievaluasi dan dipantau apakah sudah berjalan efektif. Paket-paket insentif yang tepat dan kreatif perlu didesain tanpa harus mengorbankan penerimaan negara. Hanya dengan perbaikan iklim investasi, semangat para investor akan bergairah kembali. Hanya dengan peningkatan investasi, "efek dorong" yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional dapat diraih.