Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan yang tepat untuk mencegah kesewenang-wenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga itu membatalkan tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3).
Ketiga pasal yang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi itu membuat Dewan menjadi lembaga superbody. Undang-undang, antara lain, memberikan kewenangan kepada DPR untuk memanggil paksa setiap orang yang dianggap perlu guna dimintai keterangan dalam berbagai masalah yang dibahas Dewan, melalui bantuan kepolisian.
Pasal lain memuat ketentuan mengenai konsekuensi hukum penghinaan terhadap lembaga atau anggota Dewan. Di sisi lain, undang-undang melindungi anggota Dewan dari jerat hukum, misalnya dengan adanya kewajiban penegak hukum mendapatkan rekomendasi Majelis Kehormatan Dewan dan presiden ketika memanggil mereka yang terjerat perkara.
Pasal-pasal itu jelas berbahaya jika tidak dicabut. Aturan-aturan tersebut memberangus kritik terhadap lembaga dan para anggota badan legislatif. Pasal ini pun bisa menjadi "pasal karet" yang bisa menjerat siapa saja yang berseberangan pendapat, yang kemudian dianggap menghina atau merendahkan martabat anggota Dewan.
Pasal yang tak kalah berbahaya adalah ihwal pemanggilan paksa. Kewenangan DPR menjadi sangat besar dan bisa mengintervensi kinerja lembaga lain, termasuk penegak hukum. Pada saat yang sama, undang-undang itu mempersulit proses pemeriksaan anggota legislatif yang terjerat masalah hukum. Majelis Kehormatan Dewan bakal menjadi lembaga yang bisa menghalangi proses penegakan hukum. Alih-alih menegakkan kehormatannya, lembaga internal itu akan menjadi sarang perlindungan bagi para politikus Senayan.
Mahkamah Konstitusi sudah mengambil keputusan tepat. Putusan final dan mengikat itu membatalkan pelanggaran konstitusi oleh para anggota Dewan. Putusan itu semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan DPR dalam menyusun undang-undang. Kita tahu, pasal-pasal yang dibatalkan tersebut merupakan hasil kompromi kedua lembaga yang tidak didasari kepatuhan kepada Konstitusi.
Legislator selama ini juga sering mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya final dan mengikat. Aturan pemanggilan paksa, misalnya, sebenarnya telah dibatalkan oleh lembaga yang sama pada 2015. Namun, ketika banyak anggotanya terkena masalah, Dewan menutup mata dan memasukkan kembali klausul yang sama dalam Undang-Undang MD3.
Sejak 2003, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan 252 pasal berbagai undang-undang yang diuji materi. Jumlah itu tergolong cukup tinggi. Artinya, penyusun undang-undang-dalam hal ini Dewan dan pemerintah-tidak memperhatikan kesesuaian aturan yang disusunnya dengan Konstitusi.
Contoh paling nyata adalah pengesahan tiga pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi itu. Ketika menyusun, Dewan mengabaikan keberatan rakyat yang diwakilinya. Pemerintah pun tidak bersikap tegas. Presiden ketika itu hanya menyatakan tidak menandatanganinya-sesuatu yang percuma, karena aturan juga menyatakan undang-undang otomatis berlaku 30 hari sejak Dewan mengesahkannya.