Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Populi

image-profil

Oleh

image-gnews
Para pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menyalakan red flare saat merayakan hasil perhitungan sementara pemilu di Istanbul, Turki, 7 Juni 2015. Rakyat Turki pada Minggu mengikuti pemungutan suara untuk menentukan apakah Presiden Recep Tayyip Erdogan bisa memperkuat cengkeramannya yang kian kontroversial di negara tersebut. AP/Emrah Gurel
Para pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menyalakan red flare saat merayakan hasil perhitungan sementara pemilu di Istanbul, Turki, 7 Juni 2015. Rakyat Turki pada Minggu mengikuti pemungutan suara untuk menentukan apakah Presiden Recep Tayyip Erdogan bisa memperkuat cengkeramannya yang kian kontroversial di negara tersebut. AP/Emrah Gurel
Iklan

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan kata lain, tak gampang dimengerti.

"Rakyat", dalam semboyan di atas, adalah terjemahan kata populi, dari sebuah kalimat bahasa Latin: vox populi vox dei. Kalimat itu jadi terkenal sebagai petikan sebuah pesan yang diutarakan di abad ke-8-pesan yang justru bukan untuk memperkukuh posisi politik populi. Ia bagian dari nasihat Alcuin, seorang cendekiawan yang jadi sahabat Karl yang Agung, raja orang Frank. Alcuin agaknya mendengar semboyan itu beredar dan itu membuatnya risau. Ia mencemaskan masuknya "rakyat" dalam percakapan politik: "Jangan dengarkan mereka yang terus-menerus mengatakan 'suara rakyat adalah suara Tuhan', sebab keributan orang kebanyakan (tumultuositas vulgi) selamanya dekat dengan kegilaan."

Hampir 1.000 tahun kemudian, di Inggris, ada kecemasan lain. Pada bulan November 1719, seorang pemuda yang belum berumur 19 tahun dihukum gantung: John Matthews diketahui mencetak pamflet politik dengan judul panjang, Ex Ore tuo te Judico: Vox Populi vox Dei. Anak muda itu pendukung kaum Jacobites, yang memperjuangkan kembalinya dinasti Katolik di takhta Inggris yang sejak seabad sebelumnya diduduki raja-raja Protestan-sebuah konflik politik dan agama yang menimbulkan sengsara bertahun-tahun.

Dari latar belakang itu, pamflet Matthews-yang mengulang sebuah traktat lama dari tahun 1709-bukanlah penganjur "kedaulatan rakyat". Ia bahkan menegaskan perlunya kedudukan raja berdasarkan keturunan. Kata populi adalah pekik perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggapnya tak sah.

Dan itu bukan hal baru. Dalam sejarah Inggris abad ke-14, kepala gereja Inggris, Uskup Agung Reynold, sudah mengucapkan vox populi vox dei sebagai gugatan kepada Raja Edward II yang jadi musuhnya.

Mungkin dari bagian sejarah Eropa itu semboyan "kerakyatan" itu beredar ke seluruh dunia.

Saya tak tahu kapan ia masuk ke percaturan politik Indonesia. Yang saya tahu: "Rakyat", seperti "Tuhan", adalah sepatah kata yang tak bisa dipatok maknanya. "Rakyat" dan "Tuhan" muncul dalam avatar yang berbeda-beda. Suara yang dianggap datang dari keduanya selalu hasil tafsir, bisa berubah, bahkan kontradiktif.

Dalam percakapan politik kita, "rakyat" tak jarang bersinonim dengan kaum miskin; Partai Komunis Indonesia mengejanya dengan huruf kapital ("Rakyat"), untuk menyebut aliansi buruh dan petani yang terinjak keadaan "semi-feodal" dan "semi-kolonial". Tapi kata "rakyat" dalam "Bank Rakyat Indonesia" tak mencerminkan kemiskinan: BRI salah satu bank paling besar labanya di negeri ini, bahkan disebut sebagai bank pertama di dunia yang punya dan mengoperasikan satelit.

Dalam percakapan politik, "rakyat" sering berbaur dengan pengertian "bangsa". Dalam wacana yang berbeda, "rakyat" berarti "warga negara". Dalam perumpamaan puitis, ia malah bisa jadi semacam wujud mithologis-jika kita baca sajak Hartojo Andangdjaja dari tahun 1960-an yang terkenal:

Rakyat ialah kita

Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

di bumi di tanah tercinta

jutaan tangan mengayun bersama….

Dalam semua arti itu, "rakyat" digambarkan-bahkan diasumsikan-sebagai sesuatu yang utuh, ajek, dengan fondasi yang kekar. Tapi kita tahu keutuhan dan keajekan "rakyat", sebagaimana halnya persatuan "umat", hanyalah sebuah ilusi ideologis. Pemilihan umum memperlihatkan bagaimana "rakyat"-dalam avatar-nya sebagai pemilih-tak pasti-tak-tetap dan bahkan jadi bagian antagonisme, sebagaimana sering digambarkan para penggagas "demokrasi radikal", terutama Laclau. Yang pasti, "rakyat" tak dapat dikiaskan sebagai "tangan yang mengayun bersama". Kita tak bisa mengatakan, yakin, bahwa "rakyat adalah kita".

Kelompok yang berbeda-beda bermunculan; masing-masing dibentuk kekuasaan yang menegakkan perbatasan dan menyisihkan "mereka" (yang "bukan-kita"). Masing-masing mengandung kesatupaduan yang sebenarnya semu, karena ada unsurnya yang memegang hegemoni dalam mendiktekan batas. Para pemegang hegemoni ini akan berusaha terus melakukan konsolidasi. Para pemimpin PKI menyebutnya sebagai "konsolidasi ideologis". Para pemimpin PKS-seperti yang tampak akhir-akhir ini-mengibarkan "Islam" sebagai perekat.

Tapi wujud yang disebut dengan ringkas sebagai "rakyat" itu sebenarnya ibarat air yang mengalir. Tak ada batas yang kedap penuh; jika terbentuk kelompok, identitasnya selalu bisa mencair, menemukan bentuk dan isi lain. Saya tak seratus persen percaya bahwa mereka mirip yang digambarkan Deleuze sebagai rhizome-kehidupan tanpa hierarki, yang hanya dibentuk hubungan-hubungan horizontal. Tapi agaknya benar kita perlu meninjau kembali pengertian kita tentang "rakyat".

Rakyat, dengan maknanya yang berubah dari konteks ke konteks, tak bisa ditetapkan asal-usul dan akhirnya. "Rakyat Indonesia" tak kita ketahui persis kapan dan di mana bermula, dan tak kita ketahui wujud akhirnya. "Rakyat" selalu dalam keadaan "di tengah jalan".

Pada saat yang sama, jika keanekaragamannya tampak seakan-akan "satu", itu karena ia organisme yang "mutualistik"-sebuah istilah biologi tentang organisme yang berbeda spesies tapi hidup dalam interaksi. Dengan kata lain, tak semua anasirnya bersifat antagonistis, sebagaimana digambarkan para pemikir "demokrasi radikal". Interaksi itu terkadang memang mengandung bentrokan, tapi apa pun sebabnya, ia selalu bergerak.

Sebagaimana air: akhirnya sejarah rakyat adalah sejarah manusia yang bergerak mencari ruang baru, melintasi celah dan retakan, mengikis yang menghalangi, mencari ekuilibrium.

Dalam proses itu, tak ada suatu kelompok pun yang bisa jadi wakil tunggalnya. Tiap wakil akan terlambat membawakan suaranya, tiap suara si "wakil" hanya tafsir yang mencoba-coba. Dalam hal itu, suara rakyat memang mirip suara Tuhan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.