Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Libur Pilkada

image-profil

Oleh

image-gnews
Antrean kendaraan pengunjung saat memasuki gerbang barat Pantai Ancol pada hari libur nasional pilkada serentak 2018, Rabu, 27 Juni 2018. Pengelola menggratiskan biaya masuk untuk warga DKI dalam rangka memperingati HUT Jakarta ke-491. TEMPO/Muhammad Hidayat
Antrean kendaraan pengunjung saat memasuki gerbang barat Pantai Ancol pada hari libur nasional pilkada serentak 2018, Rabu, 27 Juni 2018. Pengelola menggratiskan biaya masuk untuk warga DKI dalam rangka memperingati HUT Jakarta ke-491. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

Toriq Hadad

BERKAT libur pilkada, saya bisa bertemu dengan Dul Simo, teman yang lama menghilang. "Bersyukur kita punya presiden seperti Jokowi. Banyak libur. Jadi, kita bisa ketemu," ujar saya membuka percakapan. Dul Simo hanya mesam-mesem.

"Tanggal 11 sampai 20 Juni yang lalu libur. Mereka yang mudik bisa atur waktu. Kemacetan berkurang, kecelakaan turun. Tanggal 27 Juni libur lagi, biar orang lebih khusyuk mencoblos di pilkada. Rakyat senang jika banyak libur begini," lanjut saya.

Dul membalas. "Rakyat mungkin senang, Mas. Tapi buat apa sih Jokowi sampai perlu menerbitkan tiga keputusan presiden? Itu pertanda birokrasi pemerintah semrawut."

Saya jawab sebisanya. "Harap maklum, Dul. Pemerintah banyak urusan. Selip satu dua nomor keppres kita maafkan saja, mungkin terlalu bersemangat libur. Yang benar itu keppres versi ketiga: Keppres Nomor 15 Tahun 2018. Versi pertama dan versi kedua, meskipun sudah beredar cukup luas, anggaplah tak pernah ada."

Jawaban saya rupanya menyulut Dul Simo. "Urusan keppres ini bukan soal enteng, Mas. Kalau urusan nomor saja salah, bagaimana memikirkan peraturan yang lebih besar dan rumit. Saya ini mencoblos Jokowi dulu. Jadi, punya hak menuntut pemerintah lebih rapi mengatur rakyatnya," katanya keras.

Belum sempat saya bicara, Dul Simo terus berkata-kata. "Lagi pula buat apa sih libur pilkada? Tidak semua rakyat ikut pilkada. Hanya 171 daerah dari 410 daerah Indonesia. Liburkan saja daerah yang ikut pilkada. Tidak perlu libur nasional. Kalau Jokowi punya semboyan kerja, kerja, kerja, mengapa sih rakyat perlu diliburkan? Kan, bisa masuk kerja setengah hari. Bukankah waktu nyoblos jam tujuh sampai jam 12 siang?" kata Dul lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekarang giliran saya bicara. "Mungkin pemerintah menimbang ada pemilih yang berdomisili di tempat lain. Libur memudahkan mereka pulang kampung untuk mencoblos."

"Alasan ini lucu dan kurang adil, Mas," jawab Dul. Dia melanjutkan, "Mengapa dulu waktu pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat atau Tangerang Selatan dan sekitarnya tidak ikut diliburkan? Dengan logika yang sama, mungkin saja ada warga Jakarta yang berdomisili di sana dan tidak bisa mencoblos karena masuk kerja. Berarti pemerintah kurang adil, dong."

Saya kehabisan "amunisi". Dul terus berkomentar. "Saya melihat ada logika yang keliru dengan libur pilkada ini. Kalau maksudnya agar target partisipasi pemilih tercapai, itu tak tercapai. Saya dengar Komisi Pemilihan Umum menargetkan partisipasi 77,5 persen. Ternyata, menurut survei sebuah lembaga, di Jawa Timur kurang dari 63 persen, di Jawa Barat dan Sumatera Utara hanya 68 persen, Sulawesi Selatan hampir 75 persen. Di sejumlah kabupaten dan kota cuma 60 persen yang datang ke bilik suara. Terbukti libur tidak membuat orang lebih bersemangat datang ke tempat pemungutan suara. Golput masih tinggi," katanya.

Saya bertanya sekenanya. "Kalau tidak mencoblos, terus ke mana orang-orang yang mendapat libur pilkada itu?"

Dul bicara lagi. "Begitu Jokowi pada 25 Juni mengumumkan tanggal 27 Juni libur pilkada, saya kira banyak orang minta cuti tanggal 28 dan 29 Juni. Ke mana? Liburan lagi dong, Mas. Lumayan, dari Selasa sore, Rabu tidak ikut nyoblos, Kamis dan Jumat cuti, baru masuk lagi Senin pagi. Cukup waktu untuk jalan-jalan, pulang kampung, atau apa saja yang tidak berhubungan dengan pilkada. Maksud pemerintah tak tercapai, tapi rakyat senang. Apalagi gaji bulan Juni sudah keluar. Dengan sisa THR dan gaji Juni, jalan-jalan semakin asyik."

Saya tak punya bahan lagi untuk membantah Dul.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

21 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

33 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

49 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.