Toriq Hadad
BERKAT libur pilkada, saya bisa bertemu dengan Dul Simo, teman yang lama menghilang. "Bersyukur kita punya presiden seperti Jokowi. Banyak libur. Jadi, kita bisa ketemu," ujar saya membuka percakapan. Dul Simo hanya mesam-mesem.
"Tanggal 11 sampai 20 Juni yang lalu libur. Mereka yang mudik bisa atur waktu. Kemacetan berkurang, kecelakaan turun. Tanggal 27 Juni libur lagi, biar orang lebih khusyuk mencoblos di pilkada. Rakyat senang jika banyak libur begini," lanjut saya.
Dul membalas. "Rakyat mungkin senang, Mas. Tapi buat apa sih Jokowi sampai perlu menerbitkan tiga keputusan presiden? Itu pertanda birokrasi pemerintah semrawut."
Saya jawab sebisanya. "Harap maklum, Dul. Pemerintah banyak urusan. Selip satu dua nomor keppres kita maafkan saja, mungkin terlalu bersemangat libur. Yang benar itu keppres versi ketiga: Keppres Nomor 15 Tahun 2018. Versi pertama dan versi kedua, meskipun sudah beredar cukup luas, anggaplah tak pernah ada."
Jawaban saya rupanya menyulut Dul Simo. "Urusan keppres ini bukan soal enteng, Mas. Kalau urusan nomor saja salah, bagaimana memikirkan peraturan yang lebih besar dan rumit. Saya ini mencoblos Jokowi dulu. Jadi, punya hak menuntut pemerintah lebih rapi mengatur rakyatnya," katanya keras.
Belum sempat saya bicara, Dul Simo terus berkata-kata. "Lagi pula buat apa sih libur pilkada? Tidak semua rakyat ikut pilkada. Hanya 171 daerah dari 410 daerah Indonesia. Liburkan saja daerah yang ikut pilkada. Tidak perlu libur nasional. Kalau Jokowi punya semboyan kerja, kerja, kerja, mengapa sih rakyat perlu diliburkan? Kan, bisa masuk kerja setengah hari. Bukankah waktu nyoblos jam tujuh sampai jam 12 siang?" kata Dul lagi.
Sekarang giliran saya bicara. "Mungkin pemerintah menimbang ada pemilih yang berdomisili di tempat lain. Libur memudahkan mereka pulang kampung untuk mencoblos."
"Alasan ini lucu dan kurang adil, Mas," jawab Dul. Dia melanjutkan, "Mengapa dulu waktu pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat atau Tangerang Selatan dan sekitarnya tidak ikut diliburkan? Dengan logika yang sama, mungkin saja ada warga Jakarta yang berdomisili di sana dan tidak bisa mencoblos karena masuk kerja. Berarti pemerintah kurang adil, dong."
Saya kehabisan "amunisi". Dul terus berkomentar. "Saya melihat ada logika yang keliru dengan libur pilkada ini. Kalau maksudnya agar target partisipasi pemilih tercapai, itu tak tercapai. Saya dengar Komisi Pemilihan Umum menargetkan partisipasi 77,5 persen. Ternyata, menurut survei sebuah lembaga, di Jawa Timur kurang dari 63 persen, di Jawa Barat dan Sumatera Utara hanya 68 persen, Sulawesi Selatan hampir 75 persen. Di sejumlah kabupaten dan kota cuma 60 persen yang datang ke bilik suara. Terbukti libur tidak membuat orang lebih bersemangat datang ke tempat pemungutan suara. Golput masih tinggi," katanya.
Saya bertanya sekenanya. "Kalau tidak mencoblos, terus ke mana orang-orang yang mendapat libur pilkada itu?"
Dul bicara lagi. "Begitu Jokowi pada 25 Juni mengumumkan tanggal 27 Juni libur pilkada, saya kira banyak orang minta cuti tanggal 28 dan 29 Juni. Ke mana? Liburan lagi dong, Mas. Lumayan, dari Selasa sore, Rabu tidak ikut nyoblos, Kamis dan Jumat cuti, baru masuk lagi Senin pagi. Cukup waktu untuk jalan-jalan, pulang kampung, atau apa saja yang tidak berhubungan dengan pilkada. Maksud pemerintah tak tercapai, tapi rakyat senang. Apalagi gaji bulan Juni sudah keluar. Dengan sisa THR dan gaji Juni, jalan-jalan semakin asyik."
Saya tak punya bahan lagi untuk membantah Dul.