Meski pemilihan kepala daerah serentak di 171 daerah di seluruh Indonesia sudah usai kemarin, tugas 152 juta pemilih masih jauh dari selesai. Kini saatnya semua warga bekerja keras, bersama pers dan elemen masyarakat sipil, mengawasi para kepala daerah yang terpilih dan memastikan janji-janji kampanye mereka dipenuhi.
Tentu saja hasil final pilkada itu masih harus menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum. Seperti biasa, akan ada kandidat yang menolak hasil pemilihan dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun berbagai hasil hitung cepat dari sejumlah lembaga survei sudah bisa memberi gambaran siapa kandidat yang dipercaya publik di berbagai kota, kabupaten, dan provinsi yang kemarin menggelar pilkada.
Janji Khofifah Indar Parawansa untuk mengembangkan ekonomi di kawasan selatan Provinsi Jawa Timur harus ditagih sejak hari pertama ia bekerja. Demikian juga janji Ridwan Kamil untuk memperbaiki manajemen kawasan resapan air di Bandung utara agar Kota Bandung tak lagi dilanda banjir. Janji Letnan Jenderal (Purn) Edy Rahmayadi untuk mengurangi kematian ibu dan anak di Sumatera Utara, serta janji Wayan Koster menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali, harus dikawal terus. Semua janji kampanye para kepala daerah terpilih itu harus dicatat dan terus diingatkan dari waktu ke waktu.
Kita sering kali melihat proses pemilihan kepala daerah--serta berbagai kontestasi elektoral lain di negeri ini--seperti menonton pacuan kuda. Meski seru dan memacu adrenalin, melihat pilkada dengan cara pandang semacam itu tidak produktif karena kerap membuat kita luput menelisik program kerja apa yang dijanjikan para calon kepada pemilihnya. Lama-kelamaan janji para kandidat pun seragam dan sekadar ada. Tak ada tawaran inovasi dan terobosan, karena toh publik tak memperhatikannya. Kondisi semacam ini berbahaya dan tak boleh dibiarkan.
Cara pandang lain adalah mengaitkan pemilihan kepala daerah dengan konstelasi politik nasional dan kalkulasi dukungan publik untuk partai ataupun tokoh tertentu dalam pemilihan legislatif dan presiden, April tahun depan. Ini tidak keliru, namun bisa menafikan arti penting pilkada buat konstituen politik di masing-masing daerah. Keberhasilan demokrasi pertama-tama harus diukur dari berhasil-tidaknya proses pemilihan memberikan dampak positif untuk masyarakat.
Karena itu, publik tak boleh larut dalam sujud syukur dan gegap-gempita pesta kemenangan para wali kota, bupati, dan gubernur terpilih. Sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya, tanggung jawab rakyat tidak berhenti di bilik suara. Rakyat mesti mengawasi para pemimpin baru agar tidak berkuasa dengan cek kosong.
Tradisi inilah yang harus dibudayakan dalam demokrasi kita. Pemilihan kepala daerah tak boleh hanya jadi rangkaian prosedur penentuan pemimpin setiap lima tahun. Semua pemangku kepentingan di daerah harus paham bahwa substansi proses itu adalah pemenuhan kepentingan publik. Demokrasi harus dimaknai sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan melindungi hak-hak warga negara.