Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Hiruk-pikuk perayaan Idul Fitri dan mudik Lebaran 2018 baru saja usai. Secara nasional, lebih dari 30 juta manusia bergerak dalam waktu dan tujuan yang nyaris bersamaan. Tak kurang dari 11 juta manusia meninggalkan area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menuju kampung halamannya.
Kita apresiasi kerja keras pemerintah dalam mengawal prosesi mudik Lebaran ini. Semua penjaga lini layanan publik tidak tidur, bahkan siaga penuh untuk menopang hajatan berskala nasional ini. Bukan saja sektor perhubungan dan kepolisian, tapi juga pelayanan rumah sakit, ketenagalistrikan, telekomunikasi, bahan bakar minyak, dan tentu saja sektor retail untuk mengamankan pasokan bahan pangan (bahan pokok). Kecuali sektor transportasi, aspek layanan publik berjalan aman dan lancar. Tak ada gangguan pasokan dan pelayanan yang signifikan untuk sektor telekomunikasi, ketenagalistrikan, bahan bakar, dan bahan pangan.
Lalu, bagaimana profil sektor perhubungan selama prosesi mudik Lebaran? Perhubungan udara berjalan paling mulus, baik pada pelayanan kebandarudaraan maupun dari sisi maskapai. Tidak ada delay massal dan atau bahkan kecelakaan yang membawa petaka. Hanya ada insiden pesawat Wings Air yang salah mendarat di sebuah bandar udara perintis di Kalimantan.
Perkeretaapian demikian juga. Tak ada keterlambatan jadwal perjalanan kereta api yang mengganggu keseluruhan jadwal perjalanan. Pun tak ada kecelakaan, baik ringan maupun berat.
Yang paling tragis adalah sektor pelayaran, khususnya pelayaran rakyat, yakni dengan tenggelamnya kapal motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba. Korban meninggal pun tak tanggung-tanggung, lebih dari 170 orang. Penyebab karamnya kapal ini, selain faktor cuaca, terutama adalah kelebihan penumpang. Kapasitas maksimum kapal hanya 43 orang, tapi diisi 200 penumpang. Di sinilah aspek keselamatan ditanggalkan. Terlihat jelas bagaimana otoritas pelabuhan, yang seharusnya mengawasi laik-tidaknya kapal berlayar, nyaris mandul fungsinya.
Wajah manajemen transportasi di sektor darat, khususnya yang berbasis jalan raya, juga menyisakan persoalan yang tak kalah pelik. Dari sisi kelancaran arus lalu lintas, khususnya saat arus mudik, perpanjangan libur Lebaran nyaris tidak membawa efek signifikan sebagai instrumen rekayasa lalu lintas. Terbukti, mayoritas pemudik tetap menyerbu kampung halamannya pada H-3 dan H-2, sehingga kemacetan pada dua hari itu seperti "neraka"-sebagaimana klaim salah seorang petinggi partai politik.
Begitu pun saat arus balik, kemacetan "mengunci" di hampir semua titik di Jawa Tengah, seperti Kebumen, Ajibarang, Bumiayu, dan tentu saja di ruas jalan tol, khususnya jalan tol Cipali dan Cikampek. Keberadaan flyover dan underpass yang baru dibangun pun tak mampu mengurai tingginya arus lalu lintas. Bahkan, jalan tol Trans Jawa, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung mudik Lebaran, secara fungsional mati suri. Seandainya Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI tak memberlakukan contra flow atau bahkan one way traffic, jalan tol Trans Jawa tak ubahnya sebuah lahan parkir mobil terpanjang di dunia. Tapi, di sisi lain, efek penerapan one way traffic adalah lumpuhnya arus lalu lintas dari arah berlawanan, khususnya di jalan arteri. Sekelompok konsumen bahkan mengancam akan melakukan gugatan class action karena menjadi korban one way traffic ini.
Ke depan, hiruk-pikuk persiapan dan pengelolaan mudik Lebaran jangan hanya terfokus pada sektor transportasi darat, khususnya yang berbasis jalan raya. Pekerjaan rumah yang paling ideal untuk memfasilitasi arus mudik yang lebih manusiawi adalah dengan memperkuat peran angkutan umum, khususnya angkutan umum massal seperti kereta api. Keberadaan kereta api selama tujuh tahun terakhir cukup memadai, tapi kapasitasnya masih sangat terbatas, sehingga tidak mampu menampung tingginya minat dan permintaan konsumen.