Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Disutopia

image-profil

Oleh

image-gnews
ilustrasi akhir pekan (pixabay.com)
ilustrasi akhir pekan (pixabay.com)
Iklan

Adakah manusia dijebloskan ke dalam harapan? Atau putus asa? Tak ada jawab. Margaret Atwood menulis novel Oryx and Crake dengan kalimat-kalimat yang seakan gentar menggambarkan dunia yang akan datang - karena di sana tak ada surga; masa depan menakutkan.

Ini cerita Jimmy, yang juga menyebut diri Snowman, pemuda yang melihat dan menafsirkan dunia melalui game dan video porno: ia mungkin insan penghabisan di dunia yang telah diubah rekayasa genetik dan dibinasakan BlyssPluss, tablet mirip Viagra yang menjanjikan perasaan bahagia tapi dengan efek sampingan yang mematikan.

Teman masa kecilnya, Glenn, yang ia beri nama Crake, adalah jenius yang kemudian menciptakan pil itu. Ia memang punya rencana akan membasmi homo sapiens. Dunia, bagi Crake, tak boleh dihuni manusia yang destruktif sifatnya dan makhluk yang jelek desainnya. "Yang diperlukan", kata Crake, "adalah terhapusnya satu generasi. Satu generasi apa saja. Kumbang, pohon, mikroba, ilmuwan, orang-orang yang omong Prancis, apa saja".

Ia ingin merekayasa makhluk jenis baru yang lebih damai dan ramah lingkungan.

Di akhir cerita Jimmy menembak mati Crake, tapi ia kehilangan Oryx, perempuan ganjil yang memikatnya sejak ia melihatnya dalam sebuah situs porno. Nyawa Oryx putus oleh pisau yang menyayat nadi leher.

Baca Juga:

Akhir itu jelas tak menyenangkan. Tapi novel ini tak mengucapkan kata final. Snowman melihat dua orang manusia di depannya - mungkin manusia terakhir seperti dirinya - dan sejenak ia tak tahu apakah ia harus menembak mati mereka atau menjadikan mereka kawan. Akhirnya ia hanya mengecek arlojinya yang retak dan berkata, dalam hati, "Saatnya pergi".

Ke mana? Dengan harapan? Perlukah harapan?

Novel seperti ini (dan film seperti Blade Runner 2049) cenderung mengatakan "tidak". Harapan adalah khayal. Tapi di luar karya Margaret Atwood dan Denis Villeneuve, di dalam sejarah berabad-abad, manusia selalu berkata kepada diri sendiri, "Saatnya pergi" - bahkan setelah malapetaka. Dan ia pun akan berjalan lagi, terus. Meskipun ia tak selalu tahu akankah di ujung perjalanan ada sebuah ruang, ada sebuah masa, yang lebih baik.

Dalam meraba-raba masa depan, manusia memerlukan (dan membangun) sebuah gambaran yang secara psikologis mengatasi situasinya yang carut-marut di mana banyak hal tak dapat diwujudkan - atau ketika hidup benar-benar runtuh. Tiap kali, manusia punya hiburan agama: janji surga. Di abad ke-20, seperti dalam pelbagai gerakan politik Islam, agama secara sadar atau tak sadar berubah jadi agenda sekuler yang memproyeksikan hidup duniawi sebagai sesuatu yang bisa sempurna.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sanalah bermain ideologi dan utopia.

Dalam sebuah telaah klasik yang terbit di tahun 1929, Ideology and Utopia, Karl Mannheim menyebut ideologi sebagai ide-ide yang timbul untuk mengatasi situasi yang problematis, tapi pada gilirannya "tak pernah berhasil secara de facto melaksanakan isi yang mereka proyeksikan." Niat baik mungkin terkandung dalam ide-ide itu - misalnya untuk mewujudkan persaudaraan, atau harmoni masyarakat dengan pemimpin yang adil dan jujur - tapi "dalam prakteknya, makna itu sering menyimpang."

Dari sini tumbuh "mentalitas ideologis": mencegah pikiran sendiri menyadari adanya penyimpangan antara ide dan kenyataan, atau menyembunyikan apa yang diketahui tentang hal itu, atau - lebih buruk lagi - memproduksi dusta yang menyesatkan bagi orang lain.

Utopia juga mencoba melampaui situasi sosial yang ada, dengan gambaran masa depan yang indah, tapi disadari tak akan tercapai. "Utopia", menurut akar katanya, memang "tak bertempat". Tapi dengan itulah terjadi dialektik, kata Mannheim, dengan tatanan yang ada: tiap zaman akan ada pintu bagi ide-ide dan nilai-nilai yang mengandung keinginan yang tak terpenuhi dan tak terlaksana - misalnya keadilan dan kemakmuran.

Dengan kata lain, dalam utopia tersirat kritik sosial. Dalam ideologi terkandung ilusi. Ideologi, kata Mannheim, menunjukan sesuatu yang muncul ("fenomena") yang terletak antara "kebohongan sederhana" di satu kutub, dan sebuah "kekeliruan" akibat perangkat konseptual yang cacat. Novel seperti Oryx and Crake sering disebut "disutopia", tapi agaknya lebih cenderung melawan harapan-harapan melambung ke masa depan yang bergerak anatara "kebohongan" dan "kekeliruan".

Kini, ilmu dan teknologi berkibar jadi ideologi optimisme yang merah segar: rekayasa genetik akan menyelamatkan manusia dari kelaparan dan sakit, AI atau kecerdasan buatan akan memungkinkan hidup selama-lamanya, dan akan datang Homo Deus. Membaca kembali gambaran Margaret Atwood membuat kita terhenyak.

"...mungkin tak pernah ada solusi. Masyarakat manusia, bangkai, dan puing. Tak pernah belajar, berkali-kali membuat kesalahan yang pandir, mempertukarkan hasil jangka pendek dengan kesakitan jangka-panjang...

Tentu pernah ada usaha ideologis untuk mengoreksi keadaan, tapi tak ada ideologi yang siap sebenarnya. Marxisme, meskipun beberapa analisanya tetap kena sampai hari ini, tak bebas dari diagnosa yang salah. Ideologi lain, misalnya Islam seperti yang dikumandangkan Abdullah Maududi, pendiri Jamaat-e-Islami, menutup pintu. Doktrinnya, yang menganggap Islam sebagai "sebuah sistem yang mencakup semua bidang kehidupan", pada akhirnya bersifat mengasingkan. Maududi menggusur yang berbeda: Ahmadiyah, umat Kristen, hak perempuan - bahkan seni tari dan musik yang dianggapnya "mala masyarakat" yang harus ditiadakan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

16 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

28 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

43 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

44 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.