Laode Arham
Mahasiswa Pascasarjana Kriminologi Universitas Indonesia
Aman Abdurrahman, terdakwa kasus terorisme, akan menghadapi sidang vonis pada Jumat, 22 Juni, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia didakwa mengotaki lima serangan teroris, yakni bom Sarinah dan Kampung Melayu di Jakarta; bom gereja di Samarinda; penyerangan kantor Kepolisian Daerah Sumatera Utara; dan penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Jaksa telah menuntutnya dengan hukuman mati. Dalam sidang pembelaannya pada Mei lalu, Aman menolak semua dakwaan dan mengaku tidak terlibat dalam semua serangan teror yang dituduhkan, tapi ia mempersilakan hakim memberinya vonis mati.
Apakah penghukuman yang teramat berat, seperti hukuman mati, dalam kasus terorisme merupakan penghukuman yang memberi efek positif dalam penanggulangan terorisme di Indonesia? Apakah hal itu akan berdampak menurunnya aksi terorisme?
Salah satu hukuman yang dipandang paling kejam di dunia adalah hukuman mati. Eksekusi mati umumnya dilaksanakan di hadapan khalayak untuk menimbulkan efek jera bagi publik.
Studi Terance D. Miethe dan Hong Lu, yang secara khusus membuat perbandingan penologi di Amerika Serikat, Cina dan Arab Saudi, menjelaskan bahwa sanksi yang disponsori negara di berbagai konteks telah digunakan untuk memperkuat nilai, menghilangkan atau mengurangi ancaman kelompok minoritas, dan untuk mencegah perilaku kriminal. Hukuman fisik tertinggi, hukuman mati, telah berhasil mencapai beberapa tujuan ini, tapi belum terbukti memberi efek positif dalam menghalangi perilaku kriminal. Rendahnya tingkat kejahatan yang dilaporkan di Cina dan Arab Saudi paling baik dijelaskan oleh faktor-faktor yang terkait dengan dua aspek pencegahan, yaitu hukuman tertentu dan berat serta mekanisme informal yang kuat dari kontrol sosial yang meminimalkan terjadinya kejahatan dan penyimpangan (Miethe & Lu, 2005: 212).
Maka, hukuman mati untuk terdakwa teroris bukanlah penghukuman yang akan memberikan efek positif bagi penanggulangan terorisme di Indonesia. Hal itu tidak akan memberikan efek jera bagi pengikut dan simpatisannya. Hukuman mati tidak akan mencegah mereka dari rencana, niat, dan memanfaatkan peluang untuk melakukan aksi terorisme di masa yang akan datang.
Hal ini terbukti dengan dampak yang terjadi setelah eksekusi mati trio bom Bali: Imam Samudra, Muchlas, dan Amrozi. Ketiganya dieksekusi dengan ditembak di Nusakambangan pada 9 November 2008. Setelah itu, aksi teror terjadi di Hotel J.W. Marriot dan Ritz-Carlton (2009), dilanjutkan dengan berbagai serangan sejak 2010 yang kemudian memicu lahirnya kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang masih eksis hingga sekarang, dukungan kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2014, serangan Thamrin (2016), hingga serangan teroris di Surabaya pada 13 Mei lalu. Aksi terorisme melonjak drastis setelah 2008.
Menurut Miethe dan Lu, yang diperlukan adalah dua hal: hukuman tertentu dan berat serta kontrol sosial yang meminimalkan terjadinya kejahatan dan penyimpangan. Pertama, hukuman tertentu dan berat dapat dilakukan, misalnya, dengan menghukum pelaku dengan vonis seumur hidup, ditempatkan dalam penjara dengan standar keamanan maksimal yang memblokade secara total hubungan dan komunikasi dia dengan para pengikutnya. Terdakwa/terpidana seperti ini harus menjalani hukuman inkapasitasi secara ideologis: memutus total proses radikalisasi yang bersumber darinya, ditempatkan di bui khusus dengan dukungan manajemen khusus.
Kedua, menangkal radikalisasi dan penyebaran ideologi teroris, termasuk paham ISIS, yang biasanya dilakukan melalui media sosial atau media online dan media konvensional (tatap muka). Hal ini dapat dilakukan melalui kontrol sosial yang ketat yang melibatkan masyarakat, perusahaan media, organisasi nonpemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi massa keagamaan. Kontrol ini mencakup aspek pencegahan, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi.