Ibnu Burdah
Dosen UIN Sunan Kalijaga
Amerika Serikat sangat serius mengambil langkah-langkah taktis untuk menjatuhkan rezim Iran. Setelah mundurnya Amerika dari kesepakatan nuklir dan pemberlakuan kembali berbagai sanksi ekonomi terhadap Iran, Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo mengumumkan 12 syarat jika Teheran ingin bernegosiasi ulang. Syarat itu, antara lain, adalah Iran tidak lagi membantu sekutu-sekutunya di Suriah, Libanon, Yaman, Palestina, Irak, dan lainnya; menghentikan pengembangan senjata nuklir dan rudal, serta "perlucutan" peran Garda Revolusi.
Amerika, kata Pompeo, akan memberlakukan hukuman ekonomi yang lebih keras yang bisa menghancurkan ekonomi Negeri Mullah itu jika Teheran tetap tak mau "tunduk". Pompeo sepertinya sengaja mengajukan syarat-syarat yang mustahil akan dipenuhi oleh Teheran.
Pengumuman Donald Trump bahwa Amerika mundur dari kesepakatan nuklir Iran sebelumnya saja sudah ibarat teriakan seorang komandan kepada prajuritnya untuk bersiap dengan segala kemungkinan. Sekutu-sekutu Amerika di Timur Tengah langsung bersiap menghadapi adanya kemungkinan terburuk berhadapan dengan Iran. Israel menjadi pihak awal yang melakukan serangan langsung terhadap kekuatan Iran di Suriah.
Sudah puluhan tahun Israel dan Iran terlibat perang mulut dan saling ancam. Tapi mereka tak sekali pun terlibat dalam konfrontasi senjata secara langsung. Serangan Israel terhadap basis kekuatan Iran di Suriah beberapa waktu lalu mencerminkan eskalasi baru.
Sebaliknya, serangan Iran ke wilayah Golan, yang diduduki Israel, beberapa waktu lalu juga menandai babak baru dalam ketegangan hubungan kedua negara. Israel-Iran baru kali ini terlibat dalam aksi serang dan saling balas secara langsung kendati bukan di wilayah masing-masing. Mengapa Israel bertindak demikian?
Bagi Israel, keberanian Iran menyerang wilayahnya merupakan pelanggaran terhadap garis merah pertahanan Israel. Jika Iran dikabarkan melepaskan sekitar 20 rudal ke Golan, Israel membalasnya tiga kali lipat lebih. Kerusakan akibat serangan Israel jelas lebih besar daripada serangan Iran. Demikian pula korban meninggal lebih banyak di pihak militer Iran dan sekutunya.
Alasan lain, blok Amerika gagal dalam Perang Suriah. Salah satu kunci kemenangan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad adalah dukungan Iran dan sekutunya. Iran adalah biang kekalahan blok Amerika dan Saudi dalam Perang Suriah.
Iran juga menjadi ancaman terbesar bagi Arab Saudi, yang tengah melakukan reformasi besar-besaran di segala bidang. Saudi baru yang dikendalikan anak muda ingin menjadi negara terkuat di kawasan. Faktanya, negara ini keok dalam Perang Yaman, tak punya pengaruh signifikan di Suriah, dan juga di Libanon.
Iran juga menjadi ancaman terbesar Israel. Sekutu Iran, Hizbullah, benar-benar menjadi ancaman paling dekat dan mengkhawatirkan. Jika Hamas saat ini diperkirakan tak akan mampu menggeber perang sekuat sebelumnya, kekuatan Hizbullah berkembang sangat pesat. Kombatan-kombatan perang kelompok ini, terutama alumnus Perang Suriah dan wilayah konflik lain, bertambah besar dan memiliki pengalaman tempur yang semakin meyakinkan. Demikian pula logistiknya juga diyakini semakin kuat. Kelompok yang berkiblat ke Iran ini menjadi ancaman paling potensial bagi Israel.
Amerika ingin mendapatkan hasil perang di Suriah yang tak terlalu memalukan. Negara ini terus menjegal upaya perdamaian Suriah yang digagas Rusia. Dia menunggu perubahan di lapangan, baru kemudian membuat perjanjian damai yang serius dan final.
Serangan Israel terhadap target Iran serta dukungan Amerika dan Arab Saudi tak lain adalah upaya mengubah realitas di lapangan. Kekalahan harus diubah menjadi keseimbangan baru yang lebih sesuai dengan keinginan mereka. Apakah serangan- serangan ini akan berlanjut pada perang terbuka Saudi dan Israel melawan Iran? Israel dan Saudi harus benar-benar berhitung soal opsi ini jika tak ingin gagal lagi.