Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Politik Meminggirkan Minoritas

Oleh

image-gnews
Sejumlah massa yang tergabung dalam relawan #KamiBersamaPolri menggelar doa bersama lintas agama di depan Mabes Polri, Jakarta, 10 Mei 2018. Para relawan juga membagikan bunga mawar berwarna merah putih sebagai simbol keberanian dan kesucian. TEMPO/Muhammad Hidayat
Sejumlah massa yang tergabung dalam relawan #KamiBersamaPolri menggelar doa bersama lintas agama di depan Mabes Polri, Jakarta, 10 Mei 2018. Para relawan juga membagikan bunga mawar berwarna merah putih sebagai simbol keberanian dan kesucian. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

DUA puluh tahun pasca-reformasi, pengakuan dan pelindungan negara kepada kaum minoritas di Indonesia masih jauh panggang dari api. Sampai hari ini, pemeluk agama yang dinilai menyimpang seperti Ahmadiyah masih harus hidup dalam kecemasan. Sementara itu, penganut aliran kepercayaan seperti Sumarah dan Sunda Wiwitan harus berpura-pura menjadi pemeluk agama yang diakui di Indonesia agar memperoleh kartu tanda penduduk.

Kegagalan negara melindungi kaum minoritas jelas melanggar cita-cita kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada bagian Pembukaan, konstitusi kita sudah menegaskan pentingnya "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" tanpa terkecuali. Pembedaan perlakuan kepada mereka yang kebetulan punya keyakinan yang tak sama dengan mayoritas warga lain seharusnya tidak punya tempat di negeri ini.

Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberi gambaran yang lebih detail soal suramnya nasib kaum minoritas di republik ini. Tahun lalu, lembaga itu menemukan ada sedikitnya 50 kasus dugaan pelanggaran kebebasan beragama. Tahun ini, hingga semester pertama, sudah ada delapan kasus serupa. Adapun Wahid Foundation, lembaga advokasi hak asasi manusia, menemukan bahwa sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aktor "negara". Dengan kata lain, aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi hak warga beragama justru aktif melanggar prinsip kebebasan.

Temuan itu sebenarnya tak mengherankan. Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum konsisten menerjemahkan prinsip pelindungan kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Kesalahkaprahan ini sudah terjadi sejak 27 Januari 1965, ketika diterbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan itulah yang kini menjadi dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri mengenai pelarangan penyebaran dan kegiatan keagamaan jemaah Ahmadiyah di Indonesia yang diteken pada 2008.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bersenjatakan surat keputusan bersama itu, aparat negara kerap melarang kaum Ahmadiyah beribadah di masjidnya sendiri. Mereka juga menutup mata ketika kelompok warga lain menyerang dan mengusir kaum ahmadi. Upaya untuk menggugat peraturan itu sudah dilakukan di Mahkamah Konstitusi lima tahun lalu, tapi kandas. Dibutuhkan komitmen politik yang tegas dari Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membalikkan keadaan. Pemerintah bersama DPR harus mencabut semua peraturan perundang-undangan yang bertabrakan dengan Pancasila dan konstitusi.

Menggandeng tokoh-tokoh bangsa untuk melahirkan komitmen semacam itu memang tak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Kunci persoalannya memang ada pada elite politik kita. Selama ini ada indikasi kuat persekusi atas kaum minoritas menjadi komoditas politik menjelang pemilihan umum. Setiap kali masa kampanye, para politikus akan menggoreng isu ini untuk menarik simpati pemilih mayoritas.

Harga yang harus dibayar untuk permainan politik semacam itu teramat mahal. Harmoni yang dibangun dengan meminggirkan minoritas juga tak akan langgeng. Kita belajar dari era Orde Baru bagaimana konflik antaragama yang dibungkam oleh negara tetap meletup suatu saat. Kini waktunya kembali pada moto Bhinneka Tunggal Ika, dengan memastikan tak ada kelompok agama yang disingkirkan dan semua aliran keyakinan diberi ruang yang adil di negeri ini.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.