Penyerangan kantor redaksi harian Radar Bogor oleh kader dan simpatisan PDI Perjuangan sangatlah memalukan. Apalagi beberapa pemimpin partai terbesar itu terkesan memberi restu dengan pernyataannya.
Kekerasan bermula dari berita yang mereka nilai telah menyerang ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri. Cara protes atas isi berita ini sudah di luar batas kewajaran dan malah merupakan tindak pidana.
Puluhan anggota dan simpatisan partai banteng itu marah atas kepala berita Radar Bogor edisi 30 Mei 2018 berjudul "Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta" dengan gambar ilustrasi Megawati. Berita itu menyoroti kontroversi gaji Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru diputuskan Presiden Joko Widodo.
Keberatan terhadap sebuah berita semestinya tidak dilakukan dengan intimidasi. Jalur yang seharusnya ditempuh pihak yang merasa dirugikan adalah meminta hak jawab atau mengadukannya ke Dewan Pers. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur mekanisme kontrol terhadap pemberitaan dengan mewajibkan media memuat hak jawab.
Pers tidak mungkin terlepas dari kesalahan. Karya jurnalistik bukanlah "produk final" yang seratus persen pasti benar. Karena itu, media massa wajib menyediakan ruang untuk hak jawab dan hak koreksi. Jika tidak puas, masyarakat juga bisa mengadukan sebuah media yang dianggap melanggar ke Dewan Pers. Tentang salah dan benarnya sebuah berita yang dikeluhkan, biarlah Dewan Pers yang memberi penilaian.
Selama ini Dewan Pers menunjukkan diri sebagai lembaga independen yang bisa berlaku adil terhadap masyarakat dan pers. Jika diputus bersalah, media harus legawa melakukan koreksi dan meminta maaf. Masyarakat juga harus berbesar hati jika aduan mereka ditolak. Namun, jika tidak puas terhadap putusan Dewan Pers, pengadu bisa membawa kasus ini ke pengadilan. Tiga tahap penyelesaian sengketa pemberitaan ini cukup adil, baik bagi pihak yang merasa dirugikan maupun media.
Sayangnya, kader PDIP malah mengambil jalan kekerasan. Seorang petinggi partai itu bahkan menyatakan, jika terjadi di Jawa Tengah-daerah asal politikus tersebut-Radar Bogor "sudah rata dengan tanah".
Polisi harus mengusut kekerasan itu. Massa partai itu telah melakukan tindak pidana perusakan, penyerangan, dan pengancaman. Pelaku juga melanggar Pasal 4 Undang-Undang Pers tentang kebebasan pers. Namun tampaknya kepolisian tidak akan memproses soal ini ke ranah hukum.
Pembiaran terhadap tindak kriminal semacam itu bakal berdampak panjang. Gaya ala preman ini akan makin banyak digunakan dalam sengketa pemberitaan. Premanisme terhadap pers sebelumnya telah banyak terjadi, mulai dari kasus wartawan Udin sampai demo intimidatif anggota FPI terhadap Tempo beberapa waktu lalu. Tindakan semacam ini merupakan ancaman terhadap demokrasi, kebebasan pers, dan hak publik atas informasi.