PADA hari lahir Pancasila kemarin saya menemui dua orang untuk diajak ngobrol. Seseorang mengaku pegawai negeri, dia semula asyik dengan dua anaknya bermain bola di taman kota itu. Saya langsung bertanya apa arti hari lahir Pancasila.
"Saya memuji Presiden Jokowi yang menetapkan hari lahir Pancasila dan dijadikan sebagai hari libur. Saya usulkan Hari Kartini, Hari Ibu, Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, Hari Pers, juga dijadikan hari libur. Ditambah libur keagamaan dan cuti bersama yang wajib diambil apa pun agamanya, akan semakin dekat orang tua dengan anak-anaknya," kata bapak ini.
Belum sempat saya bertanya lagi, bapak ini langsung menambahkan. "Dulu Pak Harto menetapkan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. Banyak yang sinis, bagaimana orang bisa sakti kalau tidak pernah lahir? Itu kan orang, ini soal ideologi negara, kesaktian itu perlu."
"Apa perlunya?" saya nyeletuk. Bapak ini menjawab. "Pancasila harus sakti. Kalau tidak sakti, bagaimana kita bisa hidup damai dalam masyarakat majemuk ini? Reformasi meninggalkan kesaktian Pancasila. Rumah ibadah dirusak, bahkan ada yang kena bom, padahal Tuhan itu kan maha esa, merusak rumah ibadah orang lain berarti juga merusak rumah Tuhan yang sama. Kemanusiaan kita hancur karena hak asasi manusia bisa dipelintir sesukanya dan dipakai untuk kepentingan kelompok. Persatuan kita rusak hanya karena urusan memilih gubernur dan presiden, padahal itu rutin setiap lima tahun. Keadilan sosial, nah, ini yang menjadi masalah besar. Segelintir orang kaya menguasai aset dan ekonomi bangsa ini. Sudahlah, Pancasila harus sakti, lalu dihayati dan diamalkan oleh seluruh penduduk negeri. Dulu sudah ada rumusan pengamalannya, kok dibuang."
Kesempatan saya bertanya soal sesuatu yang viral di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). "Bapak tahu heboh BPIP?" Bapak itu tiba-tiba berdiri: "Maaf, saya pegawai negeri, salah omong bisa-bisa tunjangan hari raya tak turun," bapak itu lalu menuju anaknya.
Tak jauh dari tempat saya duduk, ada bapak yang lain. Saya dekati. "Bisa saya dapatkan komentar Bapak soal BPIP?" tanya saya layaknya reporter televisi. "Soal apanya?" dia balik bertanya.
Saya jelaskan soal badan yang sudah setingkat kementerian ini, karena ketika lahir tahun lalu masih berstatus unit kerja. Juga saya jelaskan tugasnya yang membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Lalu melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan berikut penyelenggaraannya. Ini reinkarnasi dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(BP7) di masa Orde Baru, cuma saja malu mengakui. "Apa komen Bapak?" tanya saya.
"Berapa saya dibayar?" dia emosional. "Harusnya mereka yang duduk di BPIP hanya difasilitasi kerjanya, bukan terima bayaran. Pancasila bukan barang dagangan, tak bisa diarahkan segelintir orang, sepertinya hanya mereka yang Pancasilais. Harus dijadikan budaya di mana semua orang yang peduli pada bangsa wajib memberi teladan yang sesuai dengan butir-butir Pancasila itu. Kalau yang duduk di badan itu digaji besar, saya yang komentar harus dibayar juga dong. Jadi, mari kita bekerja bersama-sama dengan keikhlasan demi bangsa. Kalau mereka digaji ratusan juta, sulit dapat partisipasi karena yang lain juga minta bayaran supaya adil."
Kali ini saya yang berdiri dan meninggalkan bapak itu.