Rendahnya kepatuhan para penyelenggara negara, terutama anggota parlemen, untuk melaporkan harta kekayaannya sungguh memprihatinkan. Sampai awal tahun ini, baru 30 persen legislator di seluruh Indonesia melaporkan asetnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta mencatatkan rekor karena tak satu pun dari 106 anggota dan pimpinannya melaporkan kekayaan.
Kepatuhan jajaran eksekutif dan yudikatif dalam melaporkan aset kekayaannya ini lebih baik, meski juga belum sempurna. Sebanyak 66,2 persen dari semua pejabat di DKI Jakarta dan 83,1 persen dari total pejabat di badan usaha milik daerah di Ibu Kota sudah melapor. Di tingkat nasional, hampir 95 persen hakim dan pejabat pengadilan sudah menyetorkan laporan kekayaan ke KPK. Padahal jumlah korps yudikatif ini mendekati 20 ribu orang, lebih banyak dari total jumlah anggota parlemen yang sekitar 15 ribu orang di seluruh Indonesia.
Karena itu, bisa dipahami jika KPK setuju terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan pelaporan aset dan kekayaan sebagai prasyarat pelantikan seorang legislator terpilih, kelak setelah Pemilihan Umum 2019. Tanpa membuka informasi mengenai jumlah dan nilai harta kekayaannya sendiri secara transparan, seorang wakil rakyat jelas kehilangan hak untuk menuntut kepercayaan dari publik.
Bukan hanya itu. Penolakan para penyelenggara negara melaporkan asetnya juga menabrak tiga peraturan sekaligus, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; serta Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Sayangnya, memang tak ada sanksi pidana untuk pelanggaran undang-undang ini. Revisi peraturan ini kelak harus mengubah sanksi administratif untuk kejahatan jenis ini menjadi sanksi yang lebih bisa memberi efek jera.
Pembangkangan para pejabat ini tidak bisa dianggap sepele. Transparansi soal harta kekayaan penyelenggara negara merupakan awal mula upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Laporan harta kekayaan para pejabat adalah alat yang efektif untuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Mereka yang enggan melaporkan asetnya patut dicurigai menyembunyikan sesuatu.
Sebagian anggota DPRD DKI Jakarta beralasan mereka tak kunjung melaporkan hartanya karena tata cara pengisian formulir pelaporan harta terlalu ribet. Ini jelas mengada-ada. Ribuan pejabat lain tidak menemui kesulitan berarti ketika mengisi formulir yang sama. Kalaupun mereka benar-benar tak bisa mengisi formulir itu, KPK selalu bisa menawarkan asistensi.
Pendek kata, kini saatnya mendorong semua penyelenggara negara, terutama anggota parlemen, untuk patuh kepada regulasi yang mereka buat sendiri. Tanpa mekanisme pelaporan aset yang transparan, sulit membayangkan Indonesia menjadi negara beradab yang berlandaskan hukum.