Rentetan peledakan bom di Surabaya, Jawa Timur, memberi alarm nyaring tentang bahaya sel teroris di Indonesia. Teror ini patut dikutuk, tapi menjadikannya sebagai alasan membuat undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bukanlah pikiran bijak.
Tiga bom meledak di Gereja Santa Maria di Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuna, Ahad lalu. Kapolri Jendral Tito Karnavian menyebutkan pelaku peledakan adalah satu keluarga yang diduga berafiliasi dengan kelompok teroris Jamaah Ansharud Daulah atau pecahannya, Jamaah Ansharut Tauhid. Ini teror besar kedua setelah pengeboman di Jalan M.H. Thamrin pada awal 2017.
Polri menyebut peledakan ini sebagai implikasi dari kurangnya kewenangan pencegahan yang diberikan Undang-Undang Antiterorisme. Undang-undang itu memang hanya memberi kewenangan kepada polisi menindak teroris jika telah melakukan aksi. Meski tahu aktivitas mereka, polisi tak bisa mengambil tindakan. Misalnya, jika mereka memiliki bahan peledak atau peluru tanpa izin, belum bisa dijerat dengan undang-undang itu.
Hal yang harus diperhatikan adalah wewenang tambahan lewat revisi UU Antiterorisme sangat berpotensi disalahgunakan. Penangkapan sewenang-wenang mudah terjadi. Kita tahu bahwa operasi pemberantasan terorisme kadang berada di wilayah gelap yang tidak diketahui publik. Operasi Densus 88, misalnya, pernah dikritik karena mengakibatkan kematian salah satu terduga teroris di Klaten pada 2016. Kita juga tak tahu apakah Densus telah benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Tak jelas juga pada wilayah mana publik dapat mengontrol kerja detasemen khusus dan tertutup ini.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat hendaknya menjadi pelajaran. Komunitas intelijen Amerika Serikat-CIA, FBI, dan National Security Agency (NSA)-misalnya sudah mendapat informasi perihal rencana penyerangan menara kembar WTC di New York sebelum 11 September 2001. Meski demikian, mereka gagal mencegah serangan teror itu.
Setelah serangan yang menewaskan lebih dari 3.000 orang itu, Amerika mengesahkan Patriot Act 2001, undang-undang yang diniatkan untuk meningkatkan kemampuan penegak hukum mendeteksi dan mencegah terorisme. Amerika juga membuat badan baru, yaitu Badan Intelijen Pusat dan Pusat Kontraterorisme Nasional.
Koordinasi antar-lembaga mungkin membaik di AS, tapi Patriot Act telah melanggar banyak privasi warga Amerika. Regulasi itu memungkinkan FBI dan badan intelijen mengintai penduduk Amerika meski orang itu tak menunjukkan tanda-tanda terlibat kegiatan kriminal.
DPR hendaknya menghentikan rencana merevisi UU Antiterorisme. Presiden selayaknya juga tak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pencegahan terorisme hendaknya dilakukan dengan mengefektifkan kerja Densus, BIN, dan organisasi terkait. Manakala ditemukan indikasi lembaga-lembaga itu tak serius bekerja, atau mereka menyalahgunakan wewenang, Presiden tak boleh ragu mengganti pemimpinnya. Memerangi teror adalah tugas mulia. Tapi tugas itu hendaknya tidak dilakukan dengan melanggar hak asasi manusia.