Nurman Hakim
Sutradara Film
Tahun 1998 adalah tahun reformasi dan tahun kebangkitan perfilman Indonesia dengan munculnya Kuldesak, yang dikerjakan secara independen oleh anak-anak muda-Riri Riza, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani. Jumlah film Indonesia lalu perlahan meningkat, dari hanya sekitar lima film pada 1998 menjadi 116 film pada 2017 dengan puncaknya 124 judul film pada 2016. Menjelang pertengahan tahun ini saja sudah lebih dari 53 film muncul dan mungkin akan melebihi 100 film sampai akhir tahun. Itu belum termasuk film pendek dan dokumenter yang ditayangkan di luar bioskop. Insan film dan masyarakat kini menikmati serta merayakan kebangkitan film Indonesia.
Reformasi 1998 membuka katup-katup kebebasan di berbagai lini kehidupan, termasuk kebebasan dalam karya film. Namun benarkah kebebasan itu betul-betul hadir sesuai dengan semangat dan tujuan reformasi?
Sebelum reformasi, kontrol terhadap film dilakukan oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan dan birokrasinya. Sebuah skenario film sebelum diproduksi harus mendapat izin dari Direktorat Film dan film yang akan ditayangkan harus mendapat izin dari Lembaga Sensor Film (dulu Badan Sensor Film) dengan surat tanda lulus sensor (STLS). Ini semacam "surat sakti" bahwa film itu aman dan boleh ditonton masyarakat. Tak ada yang mengganggu film itu. Kalau pun ada, tak signifikan.
Kini di era Reformasi, "kontrol" terhadap film, khususnya film religi-atau genre lain tapi ada sepotong adegan menyangkut soal agama-dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. LSF tetap ada dan menjalankan fungsinya, tapi kelompok-kelompok itu tak peduli jika film yang diloloskan LSF tak sesuai dengan paham dan selera mereka. Mereka mencaci-maki film-film yang tak sepaham dan bahkan juga bernada mengintimidasi dengan kedok demonstrasi.
Salah satunya terjadi pada film Tanda Tanya (Hanung Bramantyo, 2011). Film itu batal tayang (diundur satu tahun kemudian untuk meredakan suasana) di sebuah stasiun televisi swasta. Film itu dianggap menyebarkan paham pluralisme. Film Naura dan Genk Juara (Eugene Panji, 2017) juga diboikot dan ditentang oleh sebagian kelompok Islam lainnya karena dianggap mencitrakan Islam secara negatif karena ada tokoh penjahat yang selalu mengucap istigfar (permohonan ampunan) yang biasa diucapkan oleh muslim. Meski film itu sudah mendapatkan STLS, tetap saja boikot dan cercaan jalan terus dan akhirnya mengurangi jumlah perolehan penonton.
Film Bid'ah Cinta yang saya buat tahun lalu juga mengalami tekanan oleh kelompok sejenis. Film itu bertema toleransi antar-umat Islam dan bicara soal bidah di masyarakat kita. Begitu masif cercaan dan ajakan boikot di media sosial terhadap film itu. Ribuan akun menyerang. Beberapa pemain film dirisak habis-habisan. Hal ini juga sangat mempengaruhi jumlah perolehan penonton. Perlu dicatat, film Bid'ah Cinta mendapatkan STLS tanpa potongan adegan sedikit pun.
Bandingkan dengan film bertema sejenis yang muncul pada masa pra-reformasi, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982) yang berbicara soal moralitas dengan latar religi. Seorang ustad di sebuah kampung digambarkan bersikap munafik. Ia menerima suap dari seorang penjahat. Film itu diterima publik dengan baik dan dijadikan semacam kritik terhadap kehidupan dan moralitas. Begitu pun film Atheis (Sjuman Djaja, 1974). Film ini berbicara soal eksistensi Tuhan dan tokoh Hasan yang limbung dalam kehidupannya. Memang ada kontroversi pada film Atheis, tapi terjadi di level aparatur negara, bukan masyarakat. Departemen Penerangan sempat mempermasalahkan skenarionya. Badan Sensor Film awalnya menolak film itu, tapi akhirnya diloloskan dengan beberapa adegan yang dipotong.
Reformasi 1998 seharusnya menjadi tonggak kebebasan berkarya serta memilih tema dan cerita untuk film. Cukuplah hukum di negara ini yang menjadi penjaga bagi kontrol kebebasan itu. Bukankah reformasi adalah gerak maju suatu masyarakat di berbagai lini kehidupannya, termasuk film? Bukan justru malah mundur dan lebih buruk daripada masa lalu.