Akhirnya hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap pemerintah, yang membubarkan organisasi ini. Putusan pengadilan ini perlu dihormati kendati langkah pembubaran HTI amat sewenang-wenang. Organisasi ini pun masih bisa mengajukan permohonan banding dan berjuang lewat Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah membubarkan HTI lewat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM yang diterbitkan pada Agustus tahun lalu. Alasannya, organisasi ini dianggap memperjuangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, yakni khilafah Islamiyah. Langkah Menteri Hukum itu amat kontroversial karena Indonesia jelas merupakan negara demokrasi.
Hanya, sulit mengharapkan aspek demokrasi masuk dalam pertimbangan sebuah putusan PTUN. Hakim pengadilan tata usaha negara lebih melihat soal legal formal. Dari aspek ini, keputusan Menteri Hukum tidak bisa dianggap keliru karena bersandar pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017.
Perpu itulah yang mengubah mekanisme pembubaran organisasi dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, sehingga tak perlu lagi lewat proses pengadilan. Cara yang kurang demokratis ini mendapat landasan hukum yang semakin kuat setelah perpu tersebut diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Perpu itu akhirnya disahkan lewat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tiga bulan setelah HTI dibubarkan oleh pemerintah.
Jika mengacu pada aturan formal itu, sepak terjang pendukung HTI memang tidak pas dan jelas mengabaikan Pancasila sebagai ideologi. Mereka juga tak hanya berhenti pada sebatas gagasan, melainkan sudah melakukan gerakan nyata. Organisasi itu telah membangun kekuatan massa, dengan kampus sebagai lahan suburnya.
HTI sebetulnya juga kurang konsisten karena berjuang lewat hukum dan demokrasi, tatanan yang sebetulnya ditentang oleh organisasi ini. Hanya, sebagai negara demokrasi, Indonesia harus tetap menghargai perbedaan pandangan. Negara ini juga telah mengikatkan diri pada Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik pada 2005. Dalam kovenan tersebut termaktub bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dengan orang lain.
Pergulatan prinsip demokrasi dan ideologi HTI itu tentu tidak bisa diselesaikan lewat jalur PTUN. Selama perpu-kemudian disahkan menjadi undang-undang-yang menjadi landasan keputusan tidak direvisi, keputusan pembubaran HTI tidaklah cacat. Upaya yang lebih strategis adalah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Kalangan HTI pun telah mengajukan permohonan uji materi terhadap undang-undang yang mengesahkan Perpu Ormas. Kendati tujuan organisasi ini bertentangan dengan demokrasi dan Pancasila, HTI tidak bisa dibubarkan secara sewenang-wenang oleh pemerintah. MK diharapkan menegakkan asas kebebasan berserikat dengan mengoreksi Undang-Undang Ormas.