Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Mudik Lebaran 2018 sudah di pelupuk mata. Tiket mudik pun sudah ludes diborong konsumen, khususnya untuk kereta api. Antusiasme publik juga kian membuncah manakala pemerintah memperpanjang masa cuti bersama Lebaran. Siapa yang tak suka hari liburnya ditambah, apalagi untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Namun kalangan pelaku usaha dan perbankan sangat keberatan dan meminta pemerintah merevisinya.
Jika dilihat dari proses pembuatan kebijakan publik, perpanjangan cuti bersama ini sangat absurd dan menggelikan. Hal ini menandakan kebijakan tersebut diputuskan secara linier, sepihak, dan tanpa memperhatikan pemangku kepentingan utama lainnya. Padahal cuti bersama diputuskan oleh tiga kementerian (Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan dikomandoi seorang menteri koordinator.
Secara linier, perpanjangan cuti bersama bisa dimengerti. Pemerintah ingin praktis, yakni agar arus lalu lintas lebih mencair, bahkan tidak terjadi bencana lalu lintas, yaitu gridlock (kemacetan total) saat mudik Lebaran. Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Royke Lumuwa, memprediksi mudik kali ini akan lebih macet, khususnya di ruas jalan tol. Prediksi itu cukup beralasan karena pada masa mudik ini akses jalan tol Trans Jawa sudah tersambung 100 persen, walau di beberapa ruas masih belum sempurna. Tersambungnya akses ini akan mendorong bangkitan lalu lintas jalan tol. Masyarakat akan beramai-ramai menggunakannya sebagai alternatif jalur utama. Bahkan keberadaan jalan tol ini bisa memacu semangat untuk mudik dengan kendaraan pribadi.
Itulah persoalan utamanya. Arus mudik selalu didominasi kendaraan pribadi. Akses dan kapasitas angkutan umum sangatlah minim, apalagi angkutan umum di daerah nyaris mati suri. Kendaraan pribadi menjadi andalan, bukan hanya untuk arus mudik dari Jakarta ke daerah tujuan, tapi juga untuk mobilitas di kampung halaman. Jadi perpanjangan cuti ini didedikasikan sebagai bentuk rekayasa lalu lintas yang menjadi domain Korlantas Polri dan Kementerian Perhubungan. Pada titik inilah perpanjangan libur Lebaran menjadi hal yang rasional.
Namun sungguh sangat kontraproduktif jika pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, peruntukannya hanya untuk memfasilitasi mudik Lebaran. Infrastruktur jalan, apalagi jalan tol, peruntukannya haruslah berjangka panjang, yakni untuk mempercepat arus barang dan mendorong pertumbuhan sektor riil. Tapi, secara kasatmata, hal ini sulit terwujud. Jalan tol justru menjadi kendala. Pasalnya, tarif jalan tol dianggap mahal oleh kalangan pelaku usaha dan pengguna kendaraan pribadi. Jalan tol malah meningkatkan logistic fee, bukan sebaliknya. Sebagai contoh, tarif jalan tol dari ruas Merak sampai Surabaya, jika diakumulasikan, bisa mencapai Rp 1 juta per kendaraan. Akibatnya, kalangan pelaku usaha akan malas menggunakan jalan tol karena biaya tinggi dan tetap memilih jalan arteri.
Pemerintah juga lupa bahwa perpanjangan cuti Lebaran, selain kontraproduktif terhadap ekonomi dan perbankan, akan mendorong sikap konsumtif masyarakat. Masyarakat akan "menghamburkan" tabungan yang dikumpulkan dalam setahun untuk beberapa hari saja. Dan, mereka menghabiskannya untuk pembelian barang/jasa yang sekali pakai, bukan barang untuk investasi jangka panjang. Selain itu, menurut data yang ada, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah hari liburnya terbanyak di dunia.
Karena itu, desakan kalangan pelaku usaha dan perbankan agar perpanjangan libur Lebaran dibatalkan bisa diterima akal sehat. Namun hal ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, mengingat sebagian masyarakat sudah kadung membeli tiket transportasi mudik Lebaran.
Polemik perpanjangan cuti Lebaran harus menjadi pelajaran berharga dalam proses pembuatan kebijakan publik. Semua pemangku kepentingan, apalagi pemangku kepentingan utama, harus diajak bicara dan dilibatkan secara intens. Janganlah perpanjangan libur ini dijadikan momen populis menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Bahkan seharusnya pemerintah mempunyai kalkulasi secara matang dan komprehensif, seberapa signifikan benefit ekonomi mudik Lebaran dibanding dampak sosial-ekonomi lain. Pemerintah pun harus mulai berpikir keras, haruskah mobilisasi masa dan libur panjang hanya dengan momen Lebaran? Tidak bisakah mulai direkayasa agar momen mudik pada saat Lebaran Haji? Mudik Lebaran hanyalah produk budaya, maka seharusnya pemerintah berani melakukan kebijakan yang transformatif dan fundamental, yakni rekayasa budaya. Bukan sekadar memperpanjang libur sebagai wujud rekayasa lalu lintas.