Pemerintah harus menanggapi dengan bijak rencana Uni Eropa menghentikan impor minyak sawit untuk bahan bakar nabati pada 2021. Ikhtiar pemerintah melobi para pemimpin Eropa agar rencana tersebut dibatalkan tentu diperlukan, tapi langkah ini harus didahului dengan membereskan tata kelola industri minyak sawit kita.
Hal yang memicu rencana Uni Eropa itu jelas berkaitan dengan masalah lingkungan dan kemanusiaan di negara penghasil minyak sawit, tak terkecuali di Indonesia. Alasan penghentian impor minyak sawit itu terutama adalah buruknya pengelolaan lingkungan oleh produsen minyak sawit.
Rencana pelarangan impor minyak sawit ini diputuskan parlemen Eropa pada Januari lalu. Uni Eropa merivisi Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive). Dalam draf dokumen itu disebutkan bahwa mereka akan menghapus penggunaan minyak sawit untuk bahan bakar nabati hingga nol persen pada 2021.
Kebijakan itu akan berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Sebab, Uni Eropa merupakan pasar minyak sawit terbesar kedua bagi Indonesia setelah India. Negara-negara Eropa mengkonsumsi minyak sawit dalam jumlah besar, salah satunya karena tengah menggalakkan pemakaian bahan bakar nabati berbasis minyak sawit.
Merespons rencana tersebut, pemerintah melobi para pemimpin Eropa, termasuk pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus. Hanya, sukar mengharapkan lobi seperti ini akan berhasil, bila tidak disertai upaya memperbaiki karut-marut industri kelapa sawit di dalam negeri. Upaya mulia itu tak akan efektif karena kerusakan lingkungan di negara kita kian parah akibat deforestasi oleh industri minyak sawit.
Pemerintah semestinya menghentikan praktik ilegal penggunaan lahan hutan lindung untuk dijadikan kebun sawit. Investigasi Tempo menemukan praktik yang tak elok ini diduga dilakukan oleh banyak perusahaan, termasuk yang berafiliasi dengan Grup Wilmar.
Persoalan industri sawit kita juga menyangkut isu perebutan lahan kebun seperti di Pasaman Barat. Bergeser ke Indonesia timur, industri sawit di sana bahkan merampas hak penduduk mencari penghidupan karena melenyapkan hutan-hutan sagu dan hutan tempat berburu hewan.
Jika pemerintah serius, upaya pembenahan industri sawit sesungguhnya tidak terlalu sulit karena pemainnya hanya sedikit. Dari luas kebun sawit sekitar 12,3 juta hektare, sekitar 60 persen dikuasai korporasi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Grup Wilmar, misalnya, menguasai 656 ribu hektare kebun sawit dan sekitar 30 persen bisnis sawit lewat kepemilikan kilang, pengolahan, serta transportasi.
Jadi, pemerintah sebetulnya berurusan dengan sedikit pengusaha untuk memperbaiki industri sawit agar lebih ramah lingkungan. Perluasan perkebunan sawit juga tak boleh dengan cara menyingkirkan penduduk setempat. Setelah menunjukkan ikhtiar ini, Indonesia memiliki amunisi untuk melobi negara-negara Uni Eropa.