Keputusan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memberi kesempatan kepada para pemilik vila liar di kawasan itu untuk mengurus izin pariwisata alam sungguh keliru. Hal itu menunjukkan kekalahan Taman Nasional dalam melindungi ekologinya sendiri.
Pemilik vila liar kini memiliki peluang hukum untuk melegalkan pelanggaran hukum yang mereka lakukan, yaitu mendirikan bangunan di lahan konservasi. Semestinya pengelola Taman Nasional tetap mengambil jalur hukum agar perusakan alam itu bisa dihentikan.
Sebanyak 143 orang menguasai lahan seluas 256,7 hektare di kawasan Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Mereka antara lain terdiri atas pensiunan jenderal, politikus, dan pesohor. Padahal kawasan itu termasuk zona inti Taman Nasional yang sebetulnya merupakan aset negara dan tidak boleh dijadikan tempat bangunan permanen.
Vila-vila itu didirikan tanpa izin mendirikan bangunan, kemudian pemilik mengkomersialkannya tanpa membayar pajak. Lokapurna adalah area konservasi yang sejak 1967 dipinjamkan ke sejumlah Legiun Veteran Kecamatan Cibungbulan untuk dijadikan lahan garapan. Belakangan, lahan itu diperjualbelikan. Prosesnya sederhana, awalnya cukup dengan sepengetahuan kepala desa. Bahkan, sejak 2010, cukup dengan tanda tangan ketua rukun warga.
Sudah lama Taman Nasional berusaha menertibkannya. Tapi usaha pembongkaran selalu dihadang preman bayaran yang membuat pagar betis di vila serta warga yang mengancam dengan senjata tajam. Akhirnya pembongkaran selalu batal. Walhasil, kini mereka balik arah. Pengelola Taman Nasional dan pemerintah kehilangan stamina dan akhirnya tak berdaya
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam sendiri sesungguhnya mewajibkan pemilik bangunan mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan, gubernur, serta bupati ataupun wali kota. Pengusahaan pariwisata alam, menurut aturan tersebut, adalah penyediaan jasa wisata alam, dari jasa perjalanan wisata sampai jasa pramuwisata.
Persoalannya, dari zaman Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sampai sekarang Siti Nurbaya Bakar, tak ada langkah tegas. Pada 2010, Zulkifli Hasan sesumbar akan memenjarakan para pemilik vila liar. Namun kementerian itu tak pernah mengambil langkah hukum apa pun terhadap para elite pemilik vila.
Jelas-jelas pendirian vila di area konservasi melanggar peraturan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Kawasan Taman Nasional Halimun-Salak adalah area resapan hulu Sungai Cisadane. Sungai Cisadane-yang terhubung dengan Kali Pesanggrahan, Cideng, Krukut, dan Kali Baru-bila tidak mampu menampung air akan menimbulkan banjir besar di Jakarta.
Tak pelak, keputusan memberikan izin mengelola pariwisata alam bagi para pemilik vila liar akan menyuburkan tumbuhnya vila-vila komersial baru. Berkurangnya resapan air pasti akan semakin parah. Lemahnya pemerintah menjaga lingkungan dan kekurangtegasan dalam menghadapi orang-orang berduit dan warga yang pragmatis adalah penyebabnya.