Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno semestinya tak perlu terlalu banyak campur tangan dalam urusan manajemen PT Pertamina. Pencopotan Elia Massa Manik dari jabatan Direktur Utama Pertamina, juga empat anggota dewan direksi lainnya, menunjukkan intervensi Rini sudah kelewatan.
Ini bukan campur tangan Rini yang pertama kalinya. Elia baru dipilih menduduki kursi Direktur Pertamina pada Oktober 2016 untuk meredam konflik di antara manajemen. Saat itu, terjadi kepemimpinan ganda karena sebagian kewenangan Dwi Soetjipto sebagai direktur utama diambil alih wakilnya, Ahmad Bambang. Bahkan, sejak reformasi 1998, gonta-ganti pucuk pimpinan Pertamina seolah-olah merupakan hal yang gampang dan lumrah. Sejak saat itu, hanya Karen Agustiawan yang menjabat direktur utama selama lima tahun. Yang lainnya memimpin Pertamina sekitar 1-3 tahun.
Rini punya berbagai alasan untuk mencopot Elia, antara lain lantaran kelangkaan pasokan Premium, kebocoran pipa Pertamina di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur; serta tidak kunjung rampungnya Refinery Development Master Plan (RDMP) yang berisi proyek revitalisasi kilang-kilang Pertamina. Alasan lain yang juga santer disebut adalah penggantian Elia dimaksudkan untuk memuluskan pembentukan perusahaan induk minyak dan gas bumi.
Panasnya hubungan Rini dengan Elia sudah lama tersebar di ranah publik. Dalam dua bulan belakangan beredar kabar bahwa hubungan keduanya tegang setelah terbit Surat Keputusan Menteri BUMN yang intinya mengubah nomenklatur jabatan di Pertamina. Manajemen gemuk yang diusulkan Rini tak sejalan dengan tujuan Elia merampingkan struktur perseroan untuk meningkatkan efisiensi. Elia pun kemudian tidak menghadiri rapat umum pemegang saham luar biasa yang menyetujui surat keputusan tersebut, Februari lalu. Kerenggangan tersebut bukannya dijembatani, melainkan malah diambil jalan singkat: "menendang" Elia.
Meski pemilik Pertamina, bukan berarti pemerintah bisa sewenang-wenang menyingkirkan anggota dewan direksi bila tak sepaham. Intervensi, termasuk gonta-ganti dewan direksi, hanya akan memperlambat Pertamina tumbuh menjadi perusahaan kelas dunia. Pemimpin baru perlu waktu untuk beradaptasi dan memahami program kerja serta permasalahannya.
Sebagai pembina BUMN, Menteri BUMN bisa mengajak pimpinan Pertamina duduk bersama dan mendiskusikan permasalahan dengan kepala dingin. Toh, cita-cita bersamanya adalah memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi rakyat.
Tugas Pertamina menyediakan BBM di seluruh Indonesia memang berat dan sangat besar dampaknya bagi popularitas pemerintah. Bila bahan bakar langka atau mahal, kemarahan langsung terlempar ke pemerintah. Apalagi ini sudah memasuki tahun-tahun politik: menjelang pemilihan kepala daerah serentak serta pemilihan presiden pada tahun depan.
Bila kita ingin Pertamina menjadi perusahaan yang besar dan kuat, kesampingkan hitung-hitungan politik. Bersama, pikirkan kepentingan rakyat dan negara serta kesehatan Pertamina.