SUDAH saatnya prinsip non-intervensi yang termaktub dalam Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dikaji ulang. Organisasi regional ini punya tanggung jawab moral untuk berbuat sesuatu ketika kualitas demokrasi di Asia Tenggara merosot. Negara-negara ASEAN tak bisa berpangku tangan menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di depan mata.
Prinsip non-intervensi memang menegaskan bahwa suatu negara ASEAN tak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau permasalahan dalam negeri di negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 poin E dan F Piagam ASEAN yang diteken saat pendiriannya pada 8 Agustus 1967. Kesepakatan itulah yang membuat ASEAN tak memiliki otoritas yang cukup untuk mengintervensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara anggotanya.
Beberapa kali Myanmar, misalnya, memakai "landasan hukum" ini untuk menolak rencana pertemuan negara anggota ASEAN terkait dengan isu Rohingya. Mereka menjadikan prinsip non-intervensi sebagai senjata untuk menghentikan usaha-usaha ASEAN menekan Myanmar. Akibatnya, nyawa ribuan orang etnis Rohingya tak tertolong.
Jurus "mengunci" yang sama dipakai Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Meski sudah berkuasa 33 tahun, dia tak berniat mundur. Pada November tahun lalu, Hun Sen membubarkan partai oposisi pimpinan Sam Rainsy, merebut kursi parlemen yang dikuasai partai itu, membredel media, dan melarang ratusan oposan terlibat aktif dalam kegiatan politik menjelang pemilihan umum Kamboja pada akhir Juli nanti.
Kondisi di Vietnam tak kalah mengkhawatirkan. Pada awal April lalu, enam aktivis prodemokrasi dipenjara 7-15 tahun dengan tuduhan makar. Padahal kegiatan mereka hanya seputar pelatihan kesadaran hak asasi manusia dan advokasi lingkungan hidup.
Dalam semua kasus itu, negara tetangga mereka sama sekali tak bersuara. Junta militer yang berkuasa di Thailand malah memulangkan pemimpin oposisi Kamboja, Kem Sokha, yang tengah mengungsi ke Negeri Gajah Putih. Sementara itu, Singapura tutup mata soal membanjirnya manusia perahu Rohingya. Sikap pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina sama saja.
Mereka seolah-olah lupa bahwa salah satu tujuan pembentukan ASEAN adalah "to promote peace in the region" alias mendorong perdamaian. Tentu itu termasuk kewajiban melindungi nyawa para pengungsi yang mencari perlindungan di negara tetangga, bukan diam seribu bahasa.
Ketika ASEAN pertama kali berdiri separuh abad lampau, prinsip non-intervensi bisa jadi relevan dengan perkembangan politik di negara-negara anggota. Namun kini prinsip itu justru bertentangan dengan doktrin Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni Responsibility to Protect. Prinsip itu menegaskan bahwa suatu negara bisa kehilangan sebagian kedaulatannya apabila mereka gagal melindungi warganya dari kekerasan, kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan.
Selain itu, prinsip non-intervensi menyulitkan ASEAN di tengah kondisi geopolitik kawasan yang terus berubah. Ketegangan di Laut Cina Selatan, misalnya, hanya bisa diselesaikan oleh ASEAN yang solid dan memiliki kepentingan yang sama.
Karena itu, sekarang saatnya ASEAN diikat oleh nilai bersama, bukan cuma seperangkat aturan dan kesepakatan. Di sinilah kepemimpinan Indonesia menjadi penting. Kita harus mengambil peran untuk membuat nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum dijunjung tinggi semua negara anggota ASEAN. Tanpa itu, ASEAN terancam kedaluwarsa.