Komisi Pemberantasan Korupsi selayaknya tidak melaksanakan putusan praperadilan kasus Century yang mengabulkan gugatan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Tak hanya melampaui kewenangan, putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Effendi Mukhtar, ini bakal menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.
Dalam putusan yang diketuk pada Senin pekan lalu itu, hakim memerintahkan KPK melanjutkan penyidikan kasus Century dan menetapkan bekas Gubernur Bank Indonesia Boediono dan kawan-kawan sebagai tersangka. Pekan ini, pimpinan komisi antikorupsi mengundang sejumlah ahli hukum guna menyikapi putusan tersebut.
Putusan hakim itu melampaui kewenangan karena berada di luar obyek praperadilan. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang hakim praperadilan hanya memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta ganti kerugian atau rehabilitasi pada penyidikan atau penuntutan. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menambahkan soal keabsahan penetapan sebagai obyek praperadilan.
Menurut KUHAP, penetapan status tersangka merupakan kewenangan penyidik. Tak ada satu pun pihak atau lembaga yang bisa mengintervensi independensi penyidik dalam menjalankan tugas itu, termasuk lembaga praperadilan. Sesuai dengan ketentuan itu, putusan praperadilan hakim Effendi Mukhtar jelas kebablasan.
Boediono dan kawan-kawan memang disebut dalam dakwaan bekas Deputi Gubernur BI, Budi Mulya, yang menjadi pesakitan dalam kasus Century. Tapi, sekalipun putusan Budi sudah berkekuatan hukum tetap dengan vonis 15 tahun penjara, penyidik tak secara otomatis bisa menetapkan mereka sebagai tersangka. Harus ada proses penyelidikan dan penyidikan lebih dulu dengan bersandar pada dua bukti permulaan. Tak semestinya hakim mendikte proses penetapan tersangka.
Putusan praperadilan itu dengan demikian tak mengikat KPK. Kendati berkekuatan hukum tetap, menurut ketentuan hukum acara pidana, putusan ini tidak memaksa. Dengan kata lain, KPK bisa mengabaikan putusan praperadilan kasus Century.
Putusan praperadilan ini semestinya menjadi pelajaran bagi KPK agar tak serampangan mencantumkan sejumlah nama yang disebut turut serta dalam dakwaan. Dalam kasus Century, Komisi mencantumkan nama Boediono dan kawan-kawan dalam dakwaan Budi Mulya sebagai pihak turut serta tanpa dalil yang jelas. Sejauh ini, KPK tak menemukan niat jahat dan motif pribadi keterlibatan mereka dalam keputusan penyelamatan Century.
Terhadap Budi Mulya, KPK menjeratnya setelah mendapat bukti bahwa ia pernah menerima pinjaman Rp 1 miliar dari pemilik Century, Robert Tantular. Motivasi inilah yang menunjukkan adanya iktikad buruk di balik penyelamatan Century.