Seno Gumira Ajidarma
panajournal.com
Seorang jenderal akan disebut sebagai jenderal besar bukan karena pertempuran-pertempuran yang dimenanginya, melainkan ketajaman pandangan politik dan keselarasan strateginya dengan realitas politik. Siapa pun ahli strategi itu, strategi pertempurannya justru akan membahayakan alih-alih mengamankan negara jika berdiri sendiri dan terpisah dari politik. Dengan kata lain, jenderal yang tidak mengerti tapi merasa tahu politik adalah suatu bahaya karena akan mengerahkan keberdayaan militernya dengan keliru.
Dalam teori strategi Hans Delbruck (1848-1929), terdapat temuan berdasarkan penelitian dengan metode Sachkritik (material criticism): segenap laporan peperangan dalam sejarah diuji ulang di tempat kejadian, sehingga dapat diyakini terdapat fakta bombastis dalam taksiran Julius Caesar (100-44 SM) mengenai pasukan lawannya yang dilebih-lebihkan demi kepentingan politik. Juga Herodotus (484-425 SM), yang cukup sembarangan menyebut jumlah tentara Yunani dalam pertempuran di Dataran Marathon melawan tentara Xerxes dari Persia.
Dua temuan ini termasuk dalam topik pertama dari tiga topik yang merupakan temuan metode Sachkritik: (1) evolusi bentuk-bentuk taktis pertempuran; (2) saling mempengaruhi antara perang dan politik; (3) strategi militer terbagi dalam dua bentuk mendasar.
Dalam topik kedua ditemukan hubungan erat antara perang dan politik di segala zaman, yang menunjukkan bahwa strategi militer dan strategi politik harus berjalan berdampingan: pelaksanaan perang dan perencanaan strategi ditentukan oleh tujuan-tujuan politik negara. Sekali pemikiran strategis menjadi kaku dan angkuh, segenap pencapaian dari taktik yang paling gemilang hanya akan terperosok ke kubangan bencana politik. Dicontohkannya, kemenangan hebat Napoleon (1769-1821) hanya membuat lawan-lawannya memperteguh tekad dan membuka jalan bagi kekalahannya.
Dalam topik ketiga, strategi militer dibagi dua, yakni Niederwerfungsstrategie atawa strategi pemusnahan; dan Ermattungsstrategie, strategi untuk membuat lemah atau pelemahan-yang terakhir ini juga disebut sebagai strategi dua kutub. Dalam strategi pemusnahan, kutub hanya ada satu, yakni pertempuran. Adapun dalam strategi pelemahan terdapat dua kutub, yaitu pertempuran dan manuver. Dalam strategi kedua, keputusan-keputusan sang jenderal semestinya bermain di antara kedua kutub itu.
Strategi kedua bukanlah sekadar variasi dari strategi pertama karena, dalam momentum sosial historis tertentu, faktor politik dan sedikitnya jumlah tentara membuat strategi pelemahan menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin diambil. Itulah yang membuat manuver, seperti perundingan dan perdamaian, menjadi penting. Judul bukunya, Sejarah Tata Cara Perang dalam Rangka Sejarah Politik (1900), sudah menyarankan isi: menentukan hubungan antara konstitusi negara, taktik, dan strategi.
Perang dan politik selalu berhubungan sehingga dari masa ke masa terdapat hubungan yang erat pula antara perkembangan politik dan evolusi taktik. Apa pun yang telah dilakukan sebelum dan sesudah kemenangan, hanya koordinasi antara kegiatan militer dan program politik yang membuang ambisi kewilayahan yang akan membawa peperangan sampai pada akhir yang sukses. Strategi bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak. Strategi tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan-pertimbangan politik. Ofensif strategis yang besar harus disertai dan diperkuat oleh suatu ofensif politik yang setara.
Sebagai teoretikus perang modern awal, melalui penelitian terhadap sejarah peperangan dan lembaga militer masa silam, yang membongkar mitos dan sesat arah pemikiran, Delbruck antara lain menyimpulkan: khalayak ramai harus dididik agar mampu menilai masalah-masalah militer dengan memadai. Rupa-rupanya Delbruck menganggap dirinya sebagai juru tafsir masalah militer untuk rakyat jelata, yang rupanya mulai lebih sungguh-sungguh mempelajarinya. Bukankah rakyat yang selalu saja menjadi korban "salah strategi"?
Sekitar 118 tahun dari tanggal terbit, dengan segala perubahan pada rinciannya, isi kerja Delbruck masih sama: koordinasi antara politik dan peperangan adalah sama pentingnya di masa kini, seperti halnya di zaman Pericles (Craig dalam Earle, 1962 [1943]: 223-41). Kiranya cukup jelas betapa seorang jenderal tidak mungkin mengabaikan ini.
Ketika seorang jenderal beralih rupa menjadi politikus dan menjalankan suatu peran politik, pengamatan, pengukuran, dan penilaian terhadapnya dapat menggunakan metode Sachkritik: penelusuran kembali riwayat kemiliteran di tempat kejadian perkara dengan kesaksian yang menjamin kesahihan, dalam telisik rinci, dan penyebaran hasilnya secara efisien. Hal ini diperlukan agar yang menjadi tuduhan terbantah, tapi faktanya terungkap dan bisa ditafsirkan secara bertanggung jawab.