Smith Alhadar
Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies
Mulai 18 April mendatang, untuk pertama kalinya dalam 38 tahun terakhir, warga Arab Saudi dapat menonton film di bioskop di negara mereka sendiri. Selama ini mereka hanya bisa menonton film dari gadget atau di bioskop negara tetangga, seperti Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Tak kurang dari 40 bioskop akan dibuka di 15 kota dalam kurun lima tahun mendatang. Saudi berencana membuka paling tidak 350 bioskop dengan 2.500 layar hingga 2030. Film Hollywood, Black Panther, akan menjadi film pertama yang ditayangkan.
Pembukaan gedung bioskop, yang menjadi simbol keterbukaan Saudi, tak lepas dari Visi Arab Saudi 2030 yang digagas Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS). Visi itu memproyeksikan bebasnya Saudi dari ketergantungan pada minyak, yang selama ini menyumbang tak kurang dari 80 persen pendapatan negara, pada 2030. Pada saat harga minyak dunia anjlok drastis sejak 2014, Saudi memang harus mencari sumber pendapatan alternatif. Diperkirakan, industri bioskop dapat mendatangkan pemasukan hingga US$ 24 miliar atau sekitar Rp 330 ribu triliun dan menciptakan lebih dari 30 ribu lapangan kerja langsung secara permanen dan 130 ribu lapangan kerja di sektor pendukung.
Dalam berbagai kesempatan, MBS selalu mengatakan bahwa reformasi sosial-budaya yang gencar dilancarkan negaranya belakangan ini-yang meliputi kebebasan perempuan mengemudi kendaraan serta menonton acara olahraga di stadion dan konser musik di ruang publik-hanyalah upaya mengembalikan Saudi ke paham keagamaan yang moderat dan toleran yang dianut warga Saudi pra-Revolusi Islam Iran 1979. MBS menyalahkan Iran sebagai biang kerok timbulnya konservatisme agama di negaranya. Memang benar bahwa, sebelum Revolusi Iran, sudah ada bioskop di Saudi, tapi pernyataan MBS itu tidak seluruhnya benar. Toh, Wahabisme memandang rendah karya seni.
Empat tahun sebelum Revolusi Iran, Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud ditembak mati oleh keponakannya sendiri karena reformasi sosial-budaya yang dilancarkannya. Pada 1960, meskipun ditentang keras oleh para ulama Wahabi, Putra Mahkota Faisal mulai mengadakan pendidikan bagi perempuan. Ia juga membawa siaran televisi ke kerajaan itu, meskipun salah seorang keponakannya terbunuh ketika memimpin protes menentang pembukaan stasiun televisi pada 1965. Sementara itu, penciptaan kaum elite yang modern dan menguasai teknologi akan membuka tirai penutup masyarakat yang penuh kecurigaan dan sangat konservatif ini.
Delapan bulan setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, terjadi insiden berdarah di Mekah. Sekitar 400 orang Wahabi ortodoks pimpinan Juhaimin al-Otaibi menyandera Masjid al-Haram. Tujuannya untuk merebut kekuasaan dan menggantinya dengan pemerintahan teokrasi. Otaibi dan pengikutnya mengendalikan sistem pengeras suara dan menggunakannya untuk menyiarkan pesan mereka. Pemerintah berusaha mengecilkan arti pemberontakan itu dengan mengecap mereka sebagai muslim fanatik yang marah karena penyebaran video game. Otaibi berkeras menuntut dijalankannya nilai-nilai Islam yang tidak tercemar budaya Barat. Yang ingin dia ciptakan adalah Saudi yang sangat terisolasi. Keluarga kerajaan akan terlempar dari kekuasaan dan mereka harus mempertanggungjawabkan uang yang telah mereka ambil dari rakyat. Ekspor minyak ke Amerika Serikat akan dihentikan dan semua tenaga ahli sipil serta militer asing akan diusir dari jazirah Arab.
Bioskop di Saudi pra-pemberontakan Otaibi sebenarnya juga tidak semoncer di Iran sebelum maupun sesudah Revolusi. Pada 1930-1950-an, para pegawai asal Amerika di perusahaan minyak Amerika-yang nantinya dikenal sebagai Aramco-memutar film di kompleks perumahan mereka, yang juga ikut ditonton warga Saudi. Pada 1960-1970-an, pemutaran film meluas ke klub olahraga, hotel internasional, dan vila orang kaya Saudi. Pemberontakan kelompok Otaibi, yang mendapat inspirasi dari Revolusi Islam Iran, mengakhiri dunia hiburan bioskop di Saudi setelah kelompok ulama ortodoks Saudi mengambil alih kekuasaan elite agama.
Bisa jadi reformasi sosial-budaya yang sedang dijalankan MBS sekarang akan berhasil, mengingat besarnya warga milenial Saudi, sekitar 70 persen. Namun MBS harus berhati-hati. Toh, jumlah anggota kelompok ortodoks Wahabi, yang menentang reformasi, masih cukup signifikan. Apalagi pemerintah membiarkan laki-laki dan perempuan bercampur di dalam bioskop.
Bioskop Saudi pun akan dibangun dan dijalankan oleh perusahaan jaringan bioskop raksasa dunia Amerika, AMC Entertainment Holdings. Bersama dengan pembangunan megaproyek Neo Mustaqbal (Masa Depan Baru) di barat daya Saudi, tempat penjualan alkohol dan perempuan berbikini diizinkan, bukan tidak mungkin Wahabi ortodoks-berkolaborasi dengan masyarakat sipil yang memperjuangkan kebebasan politik dan penegakan hukum berbasis hak asasi-akan bangkit melawan dinasti Al-Saud.