Sudah selayaknya pemerintah mewajibkan penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi, seperti Go-Jek dan Grab, menjadi perusahaan transportasi. Dengan status perusahaan angkutan, keberadaan mereka akan lebih mudah diatur. Pemerintah pun bisa melindungi hak pengemudi sekaligus hak konsumen.
Selama ini pemerintah telah memberikan banyak dispensasi bagi Go-Jek dan Grab untuk tidak diperlakukan sebagai perusahaan transportasi. Kelonggaran itu diatur melalui Pasal 63-67 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017. Tapi, nyatanya, perusahaan berbasis aplikasi itu melanggar aturan main. Mereka beroperasi layaknya perusahaan angkutan umum dengan menentukan tarif untuk penumpang.
Begitu pula dalam perekrutan pengemudi. Seharusnya penyedia aplikasi tidak merekrut langsung mitra pengemudi, melainkan melakukannya lewat badan usaha atau koperasi. Repotnya, Kementerian Perhubungan tidak bisa menjatuhkan sanksi terhadap semua pelanggaran tersebut lantaran status Go-Jek dan Grab yang hanya sebagai penyedia aplikasi.
Negara bakal diuntungkan secara ekonomi dari keputusan yang diambil dalam pertemuan antara pemerintah dan perwakilan Go-Jek serta Grab di kantor Kepala Staf Kepresidenan pada pekan lalu tersebut. Para peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menghitung perubahan status dari penyedia aplikasi menjadi perusahaan angkutan akan menambah penerimaan negara sebesar Rp 1,54 triliun per tahun.
Sebaiknya perubahan bentuk badan usaha perusahaan berbasis aplikasi itu dilakukan secara fleksibel. Pemerintah mesti memberikan kelonggaran kepada pengusaha berbasis aplikasi bergerak di sektor lain di luar transportasi. Dengan begitu, pengembangan penyedia aplikasi ke arah industri lain, seperti financial technology atau e-commerce, tidak terhambat perubahan bentuk ini.
Pemerintah perlu pula menyelesaikan masalah lain yang lebih substansial, yakni merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang tersebut kerap menjadi hambatan karena tidak mengatur mengenai penggunaan sepeda motor sebagai alat transportasi umum.
Mengabaikan sepeda motor sebagai salah satu moda transportasi tidaklah realistis. Bahkan, sebelum undang-undang itu lahir, sepeda motor sebagai alat angkutan umum sudah hadir di seluruh pelosok negeri. Para pendukung ojek punya argumentasi: benar bahwa sepeda motor bukanlah angkutan umum, tapi tidak ada larangan pengendara sepeda motor berboncengan. Dalam konteks ojek online, boncengan inilah yang dimanfaatkan secara ekonomis.
Demi memudahkan pengawasan, pemerintah perlu mendorong perusahaan transportasi melepas saham di bursa efek. Dengan begitu, publik bisa turut mengawasi angkutan online sekaligus berkesempatan berinvestasi dan menikmati keuntungan dari dua perusahaan yang bervaluasi puluhan triliun rupiah tersebut.