Banyaknya perwira menengah yang menganggur menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem karier di kepolisian kita. Padahal masalah itu bisa diantisipasi, mengingat kebutuhan jabatan struktural kepolisian sudah baku. Jika hal tersebut dibiarkan, ada potensi pemborosan anggaran. Menurut catatan Komisi Kepolisian Nasional, setidaknya ada 414 perwira menengah yang tak memiliki jabatan struktural hingga akhir Desember 2017. Mereka kebanyakan berasal dari angkatan 1980-an dan berpangkat komisaris besar.
Fenomena ini seharusnya bisa dilihat jauh sebelumnya. Sayangnya, terjadi pembiaran. Akibatnya, efek domino terjadi dari tahun ke tahun. Kini kondisi sudah semakin kronis. Kebutuhan dan jumlah polisi berpangkat perwira menengah tak seimbang.
Pada awal reformasi, jumlah perwira tinggi kepolisian berpangkat jenderal hanya 30 orang. Sekarang, angka itu melonjak 10 kali lipat. Adapun perwira menengah berpangkat ajun komisaris besar polisi yang berstatus non-job empat tahun silam hanya 217 orang. Kini, jumlahnya terus bertambah.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, harus segera menyelesaikan masalah ini. Salah satu caranya adalah memberlakukan moratorium rekrutmen di Akademi Kepolisian. Langkah ini sesuai dengan pernyataan Kapolri bahwa penumpukan ratusan perwira yang menganggur disebabkan banyaknya rekrutan sejak 1982. Sebelumnya, Akademi Kepolisian hanya menerima 46 orang. Kini, jumlah rekrutan mencapai 300 orang. Penerapan kebijakan pensiun dini juga bisa menjadi alternatif.
Ada satu langkah strategis Kepolisian yang patut didukung, yakni mengarahkan para perwira menengah ke jabatan analis kebijakan. Konsekuensinya, jumlah jabatan tersebut harus ditambah di setiap lini satuan. Nantinya, jabatan ini bisa berubah menjadi struktural. Langkah ini telah dimintakan persetujuan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Jika langkah itu disetujui, para perwira menengah tersebut harus siap ditempatkan di mana saja di seluruh Indonesia.
Selama ini disinyalir ada keengganan para perwira menengah itu dipindahkan ke daerah-daerah. Alasan yang mereka pakai adalah telah menyelesaikan sekolah pimpinan. Padahal ihwal mutasi ini sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Kepolisian. Sebagai prajurit, setiap polisi sudah seharusnya siap ditempatkan di mana saja sesuai dengan kebutuhan dan perintah atasan. Penolakan untuk pindah ini turut memicu tingginya angka pengangguran perwira.
Sudah saatnya Kapolri memikirkan masalah pengangguran perwira menengah ini agar tak terjadi pemborosan. Penolakan polisi untuk dipindahtugaskan seharusnya tidak boleh terjadi dan merupakan bentuk pelanggaran. Selain moratorium sepenuhnya, evaluasi sistem jenjang karier perlu dilakukan. Demikian juga pembenahan sistem pendidikan serta aturan kenaikan pangkat dan pensiun.