Terbitnya peraturan pemerintah tentang izin impor garam jelas menabrak Undang-Undang Perlindungan Nelayan. Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri pada 15 Maret 2018. Dalam peraturan tersebut, pemerintah menggugurkan fungsi Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai institusi pemberi rekomendasi impor garam yang diamanatkan Undang-Undang Perlindungan Nelayan.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam menyebutkan, "Dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari menteri." Artinya, Menteri Kelautan berwenang memberi rekomendasi kuota impor yang diperlukan.
Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, yang menyokong lahirnya peraturan pemerintah itu, tak peduli aturan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Impor garam tetap berjalan dengan mendengarkan kebutuhan industri yang spesifik membutuhkan garam dengan kandungan natrium klorida sebesar 97 persen-standar mutu yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi petani garam. Impor garam menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan. Langkah ini sudah dijalankan selama 15 tahun terakhir.
Selain bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah ini janggal karena secara rigid mencantumkan volume impor garam, yakni 2,37 juta ton dari kebutuhan 3,7 juta ton setahun. Padahal, hingga tingkat peraturan menteri, selama ini pemerintah tidak pernah merinci angka impor komoditas tertentu, hanya prosedur impor.
Kalaupun peraturan itu menyebutkan angka kuota impor garam, seharusnya pemerintah juga mencantumkan volume garam lokal yang wajib diserap industri. Pemerintah hanya mengakomodasi kebutuhan garam untuk industri, sementara serapan garam petani terabaikan. Karena itu, langkah Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia yang berencana menggugat peraturan itu ke Mahkamah Agung sudah tepat.
Memang terasa janggal, Indonesia sebagai negara maritim dan dilewati garis khatulistiwa bisa kekurangan pasokan garam. Namun perlu dipahami, impor garam tak terelakkan karena kualitas dan produksi garam rakyat hanya bisa memenuhi sepertiga dari kebutuhan garam industri nasional. Produksi PT Garam (Persero) sebanyak 2 juta ton pun tak mencukupi. Maka, impor menjadi jawaban saat ini.
Meski begitu, volume impor garam seharusnya berangsur-angsur berkurang jika pemerintah dan pengusaha mendorong petani garam meningkatkan kualitas, juga menggenjot produksi melalui program penambahan lahan garam baru. Kenyataannya, volume impor garam terus meningkat dari 2,1 juta ton pada 2016 menjadi 2,6 juta ton pada 2017, dan 3,7 juta ton pada 2018.