Penyerangan terhadap jemaat Gereja Santa Lidwina, Sleman, memperkukuh penilaian bahwa Yogyakarta makin tidak toleran. Menjadi tempat berbaur orang berbeda latar belakang budaya dan keyakinan, Yogyakarta kini menghadapi krisis toleransi amat serius. Penyerangan terhadap jemaat Gereja Santa Lidwina, Sleman, memperkukuh penilaian bahwa Yogyakarta makin tidak toleran. Menjadi tempat berbaur orang berbeda latar belakang budaya dan keyakinan, Yogyakarta kini menghadapi krisis toleransi amat serius.
Sebelum penyerangan gereja tersebut, kelompok intoleran di wilayah itu berulang kali menyerang mereka yang berbeda keyakinan. Kelompok garis keras pernah menghentikan pembangunan gereja, membubarkan kebaktian, melarang diskusi, menghentikan pemutaran film, menentang bakti sosial, dan merusak kuburan.
Survei organisasi nirlaba The Wahid Institute--kini Wahid Foundation--beberapa kali menempatkan Yogyakarta sebagai kota yang tidak toleran. Pada 2014, Yogyakarta menempati urutan kedua kota paling intoleran di Indonesia. Dari total 154 kasus pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan dan berekspresi, 21 kasus terjadi di kota pelajar itu. Tahun lalu, penelitian oleh Setara Institute bersama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila juga menempatkan Yogyakarta dalam kelompok sepuluh kota dengan skor toleransi terendah.
Penyerangan Gereja Santa Lidwina tak hanya membuat cemas warga Yogyakarta. Peristiwa itu terjadi di tengah rentetan penyerangan terhadap pemuka agama di sejumlah tempat. Di Bandung, seorang pengasuh pesantren dan seorang tokoh organisasi kemasyarakatan Islam dianiaya--seorang di antaranya tewas. Di Tangerang, Banten, seorang biksu muda dirisak dan dipaksa meminta maaf karena menjalankan ibadah bersama di rumahnya.
Banyak orang tak percaya rentetan peristiwa itu hanya suatu kebetulan. Spekulasi pun merebak. Ada yang mereka-reka siapa “dalang” di balik serangan itu. Agar spekulasi tak makin liar dan mengarah pada konflik horizontal, aparat penegak hukum harus cepat menindak tegas pelaku intoleransi dan mengungkap motifnya.
Penyerangan Gereja Santa Lidwina dan pemuka agama menyiratkan pesan yang sama: toleransi di masyarakat kita berada dalam ancaman. Padahal penghargaan atas perbedaan itulah yang membuat Indonesia bisa bertahan.
Merekatkan kembali relasi sosial yang retak menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Aksi simpatik sekelompok orang lintas kepercayaan di Yogyakarta membersihkan Gereja Santa Lidwina selepas penyerangan patut mendapat apresiasi. Bila terus digaungkan, aksi seperti itu akan memberikan rasa aman bagi kelompok minoritas yang menjadi korban. Yang tak kalah penting, tindakan yang menunjukkan saling hormat akan memberikan sinyal perlawanan bagi kelompok intoleran.
Inisiatif masyarakat saja tak cukup. Pemimpin negeri ini, di mana pun levelnya, harus bersikap tegas dan tanpa kompromi terhadap kelompok intoleran. Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X tak perlu ragu memimpin rakyatnya untuk menyerukan “perang” melawan segala bentuk intoleransi.
Sikap tegas Sri Sultan boleh jadi akan mendapat perlawanan balik dari kelompok intoleran. Tapi, dengan segala pengaruh dan kekuasaannya, Sri Sultan tak perlu gentar menghadapi mereka. Toh, di masyarakat mana pun, kelompok intoleran yang ekstrem biasanya hanya minoritas.
Polemik internal keluarga dalam menyiapkan “suksesi” kesultanan juga seharusnya tak menyandera Sri Sultan untuk merangkul dukungan kelompok intoleran di luar keraton. Jangan lupa, “hidup dalam harmoni” yang menjadi tradisi masyarakat Yogya sesungguhnya buah dari toleransi. Tanpa langkah cepat menghadapi krisis toleransi, kota itu akan makin meninggalkan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman.