Pemerintah semestinya memanfaatkan momen eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) atas lahan hutan konservasi di Blok Cisadon, Bogor, untuk menertibkan seluruh kawasan Puncak dari vila dan bangunan liar. Jadikan eksekusi tersebut titik mula mengembalikan kawasan hutan itu ke fungsi awalnya.
Perusahaan Umum Perhutani memenangi sengketa atas lahan di Blok Cisadon di Kecamatan Babakan Madang dan Megamendung, Kabupaten Bogor, tersebut di tingkat kasasi pada 2012. Saat itu, MA memperkuat putusan Pengadilan Negeri Cibinong pada 2009 dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan Perhutani dalam sengketa lahan melawan pengusaha properti Yulius Puumbatu.
Eksekusinya baru dilakukan sekarang. Meski terlambat, rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membongkar vila liar di blok itu sudah tepat. Setelah membongkar bangunan, segera tanami ulang bagian dari hutan seluas 368 hektare yang telanjur rusak itu. Dengan demikian, wilayah tersebut bisa kembali menjadi kawasan konservasi dan resapan air.
Daerah Puncak merupakan hulu dari empat daerah aliran sungai besar, yakni Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Kalau kawasan ini rusak, daya tangkap air akan berkurang dan banyak hal buruk bisa terjadi, seperti bencana banjir dan tanah longsor. Air hujan yang lolos dari daerah tangkapan di Puncak akan melanda kota-kota di bawahnya hingga Ibu Kota, Jakarta.
Karena itu, eksekusi putusan ini wajib dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memulihkan fungsi lahan di kawasan tersebut sebagai hutan lindung dan kawasan konservasi. Bukan hanya di Blok Cisadon, tapi juga di seluruh kawasan Puncak.
Penguasaan lahan konservasi di Puncak secara ilegal untuk vila dan tempat istirahat terbukti dari tahun ke tahun hanya membawa petaka. Terakhir, banjir dan tanah longsor beberapa waktu lalu yang memakan korban jiwa.
Selama ini, penertiban kawasan Puncak sering terhambat lantaran kebanyakan vila dan bangunan liar di sana dikuasai penguasa dan pengusaha berpengaruh dari Jakarta. Petugas jeri menghadapi mereka.
Padahal, aturan mengenai penertiban vila dan bangunan liar di Puncak ada dan terang benderang. Antara lain keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), yang menetapkan kawasan Bopunjur seluas sekitar 9.200 hektare harus bebas dari perambah hutan, termasuk bangunan liar. Juga ada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur yang mengatur soal penataan kawasan Puncak sebagai daerah konservasi air dan tanah.
Yang dibutuhkan sebenarnya komitmen dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menertibkan lahan konservasi di kawasan Puncak. Siapa pun pelanggarnya mesti ditindak. Tak perlu ada negosiasi untuk urusan penataan kawasan yang sangat vital tersebut.