Ketika seorang tokoh militer melepaskan seragamnya dan bergerak di ruang politik, apakah politik merupakan bagian dari strategi kemiliterannya ataukah strategi kemiliterannya merupakan alat dari tujuan-tujuan politiknya? Dalam Seni Perang (1520), Niccolo Machiavelli berpendapat bahwa kehidupan dan kebesaran suatu negara hanya terjamin jika kekuatan militernya mendapat tempat yang layak dalam susunan kehidupan politik.
Dalam Sang Penguasa (1513), dia menulis: "Tidak mungkin ada hukum yang baik jika tidak ada tentara yang baik, dan di mana ada tentara yang baik pasti ada hukum yang baik." Sedangkan dalam Wacana-wacana Dekade Pertama Titus Livius (1519) dia menyimpulkan bahwa "Dasar negara adalah organisasi militer yang baik." (Gilbert dalam Earle, 1962 [1943]: 3-4).
Tanpa harus membaca Machiavelli, kiranya dapat diandaikan bahwa di ruang politik kemiliteran seorang perwira tetap bekerja sebagai pengetahuan yang telanjur merasuk dan sangat dikuasai keberdayaannya. Di ruang politik, ungkapan seperti strategi dan taktik teracu dari terminologi militer. Tetapi, dalam paham kemiliteran sendiri, selain postulat masyhur Clausewitz (bahwa perang tiada lain kelanjutan politik negara dengan alat yang lain), ruang politik juga diacu sebagai bagian dari wilayah pertempuran yang harus diatasi. Clausewitz berpendapat: seorang jenderal harus lepas dari keputusan-keputusan politik dan bahwa sebenarnya dia harus berada dalam suatu kedudukan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan politik itu (Rothfels dalam ibid.: 91-2)
Bagi jiwa militer yang "tidak berpihak", justru politik merupakan alat bagi tujuan militer: menaklukkan dan menguasai. Bukankah tak kurang dari Sun Tzu yang menulis betapa menaklukkan lawan tanpa berperang adalah siasat yang paling baik? Militerisme menjadi ideologi tersendiri.
Namun, soal perpanjangan militer dalam politik, masih dalam Wacana, Machiavelli mencatat: Kekuasaan absolut selalu merusak rakyat dengan membalikkan mereka menjadi "kawan dan partisan". Inilah yang terjadi ketika warga yang lama menjadi komandan tentara akan mendapat dukungan dan membuat pendukungnya menjadi partisan sehingga militer pada saatnya melupakan Senat dan menganggap ia sebagai kepalanya.
Machiavelli memang tidak berbicara tentang Republik Indonesia, melainkan apa yang terjadi terhadap tentara di Roma semasa Republik Akhir (147-30 SM) yang berakhir dengan terbunuhnya Julius Caesar. Para penguasa yang berasal dari militer tinggal mencari tentara yang-berlawanan dengan kebaikan bagi publik-akan mengikuti mereka demi keseimbangan konstitusi, dengan pilih kasih terang-terangan, sehingga tirani cepat mengikuti dan mengubahnya.
Untuk mencegahnya, otoritas diktatorial hanya dibenarkan Machiavelli jika terdapat situasi darurat nasional dan agar kekuasaannya tidak disalahgunakan ia mesti diperiksa melalui ordini: lembaganya, pengaturan konstitusionalnya, metode penataan dan pengorganisasiannya atas masyarakat. Setidaknya terdapat dua cara dalam praktiknya: (1) waktu berkuasa dibatasi, jangan seumur hidup; (2) menjamin bahwa olah kuasa terbatasi dan terhindar dari peristiwa yang akan menjebak. Selama ordini teramati, tiada bahaya bahwa kekuasaan absolut akan merusak secara absolut dan melemahkan pemerintah (Skinner, 2000: 79-80).
Dengan catatan atas situasi darurat, jelas Machiavelli menganggap tidak ada kesahihan bagi militer, termasuk sipil berlatar belakang militer, untuk memegang kekuasaan di negara republik. Membiarkan perpanjangan perintah-perintah militer akan mendorong pertumbuhan faksi yang akan mengalahkan kepentingan publik. Seperti diketahui, faksi berasal dari loyalitas faksional warga, bukan loyalitas kepada negara, melainkan kepada ambisi individualnya sendiri. Keberdayaan kuasa yang dicapai dengan cara ini, lebih dari segalanya, pada akhirnya membuat Roma menjadi budak (ibid.: 64, 69).
Alihkan Republik Sebelum Masehi itu menjadi Republik Indonesia, kini latar belakang militer tidak menghalangi siapa pun menjadi pemimpin tertinggi. Namun, syarat lainnya tetap sejauh khalayak tidak akan menjadi faksi maupun partisan baginya karena dengan begitu memudar pula faktor-faktor demokratisnya. Sistem yang disebut demokrasi hanya berjalan baik bukan karena terdapatnya perhitungan suara, melainkan kemerdekaan rakyat dalam memilih pemimpinnya, yang juga berarti ikut menentukan arah jalannya negara.
Boleh disaksikan, apakah perpanjangan kemiliteran ini akan membebaskan seorang politikus berlatar belakang militer dari politik. Ataukah, ketika kemiliteran berfungsi sebagai perpanjangan politik, khalayak cukup kritis untuk membongkar ideologi politiknya.
Seno Gumira
Ajidarma panajournal.com