Presiden Joko Widodo semestinya tak berlama-lama untuk membentuk tim gabungan pencari fakta guna mengungkap kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Sudah hampir setahun penyelidikan polisi bergerak lamban. Presiden harus menindaklanjuti desakan masyarakat untuk membentuk tim independen demi terjaminnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pembentukan tim yang berada dalam wilayah kewenangan Presiden itu sangatlah penting. Sejak penyiraman air keras ke wajah Novel pada April tahun lalu yang hampir membutakan matanya hingga ia keluar dari rumah sakit di Singapura, tak ada kemajuan berarti dalam penyidikan. Polisi bahkan sama sekali tak merasa tertampar atas kepulangan Novel, Kamis pekan lalu. Mereka malah terkesan menganggap belum terpecahkannya pelaku penyerangan itu sebagai persoalan biasa.
Polisi menyatakan ada banyak kasus kriminal yang belum terungkap. Menyamakannya dengan kasus Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Universitas Indonesia yang diduga dibunuh dan mayatnya ditemukan di Danau Kenanga UI dua tahun silam, Polda Metro Jaya jelas keliru. Kasus Akseyna minim dan bahkan nyaris tak ada saksi mata. Sedangkan kasus Novel memiliki sejumlah saksi mata yang tak sungkan bercerita.
Saksi yang juga tetangga Novel itu, misalnya, sempat melihat orang yang dicurigai berada di Masjid Al-Ikhsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebelum Novel menunaikan salat subuh di sana. Pelaku juga diduga sempat mendatangi rumah Novel enam hari sebelum penyerangan. Belakangan, setelah tujuh bulan penyerangan, Polda baru memperlihatkan salah satu sketsa orang yang enam hari sebelum kejadian tampak di rumah Novel tersebut. Pengusutan terhadap orang dalam sketsa itu tak jelas.
Polda mengklaim telah melakukan berbagai hal, termasuk menyerahkan rekaman kamera pengintai (CCTV), yang merekam detik-detik penyiraman dan ketika pelaku melarikan diri, kepada Australian Federal Police untuk dikaji. Namun kualitas gambar dalam rekaman itu terbatas sehingga tidak menunjukkan ciri fisik pelaku.
Hasil analisis yang disebut berasal dari kepolisian Australia itu, ironisnya, justru membuat kempis penyelidikan. Polri, yang punya reputasi bisa dengan cepat menemukan pelaku teror di ujung wilayah mana pun, seperti kehabisan akal. Jelas akan semakin mustahil berharap penegak hukum ini menemukan kaitan pelaku dengan sejumlah tersangka ataupun terdakwa kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik, misalnya.
Dengan sejumlah kegagalan itu, semakin relevanlah jika Presiden membentuk tim pencari fakta. Tim ini merupakan satu-satunya jalan untuk menemukan sang pelaku. Jika tidak, kasus Novel tak akan pernah terkuak sebagaimana kasus-kasus penyerangan terhadap karyawan KPK dan aktivis antikorupsi yang juga tak pernah terungkap.
Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, yang meminta pemerintah tak didesak-desak ihwal pembentukan tim gabungan, memperlihatkan pemerintah setengah hati mendukung pemberantasan korupsi. Padahal negara harus tegas menunjukkan perlindungan kepada para penyidik yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.