Sungguh disayangkan Presiden Joko Widodo masih saja bersikap diam terhadap revisi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Mendiamkan revisi UU MD3, tanpa ia tandatangani, tak akan membatalkan beleid itu. Sebab, dengan ataupun tanpa stempel Presiden, rancangan itu bakal sah menjadi undang-undang setelah 30 hari disetujui DPR.
Sejak awal, pemerintah seharusnya menolak rancangan yang menyimpang dari konstitusi itu. Dengan RUU MD3 itu, Dewan menjelma menjadi lembaga superbody. Mereka membuat aturan baru yang menyebabkan anggotanya kebal hukum. Bahkan mereka juga masuk ke ranah penegakan hukum dengan wewenang memanggil paksa.
Revisi yang disahkan dalam rapat paripurna Senin pekan lalu itu pun memicu protes. Banyak pasal yang menjadikan DPR lembaga adikuasa. Dalam Pasal 73, misalnya, DPR dibolehkan memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian. Perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 245, yang membuat anggota DPR kebal hukum karena penyidikan terhadap mereka harus melalui izin tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pasal 122 huruf (k) juga tak kalah busuk karena menambahkan tugas MKD mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Rancangan itu juga memuat klausul bagi-bagi kursi dengan memberikan satu posisi Wakil Ketua DPR kepada partai pemenang Pemilu 2014. Itu sebabnya, sejumlah kalangan menolak dan bersiap melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Jika ingin menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat, pemerintah semestinya menolak pasal-pasal itu saat pembahasan RUU dengan DPR. Yang terjadi malah sebaliknya, pembahasan materi revisi Undang-Undang MD3 antara Menteri Hukum Yasonna Laoly dan Komisi III DPR terlihat adem ayem.
Aneh jika Presiden tidak mendapat laporan tentang pembahasan RUU ini. Lebih menyedihkan lagi jika benar tuduhan sebagian kalangan bahwa telah terjadi keputusan transaksional dalam pembahasan ini, yakni pasal-pasal kontroversial ditukar dengan jatah kursi Wakil Ketua DPR bagi PDI Perjuangan.
Lahirnya undang-undang yang merusak sistem ketatanegaraan itu pernah terjadi di era pemerintahan Presien Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu DPR menyetujui RUU Pilkada yang isinya membawa Indonesia mundur ke masa Orde Baru, yaitu kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan oleh DPRD. Setelah dihujani kritik, Presiden Yudhoyono akhirnya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang menganulir diundangkannya UU Pilkada itu.
Jokowi seharusnya bisa melakukan cara yang sama dengan mengeluarkan Perpu tentang UU MD3. Menyetujui revisi UU MD3 hanya akan menghancurkan demokrasi kita.