Kematian tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur, Adelina Lisao, di Malaysia seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah. Kasus itu membuktikan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dalam soal buruh migran.
Adelina, 21 tahun, tewas di Malaysia pada 11 Februari 2018. Ia diduga dianiaya majikannya. Di tubuhnya terdapat bekas luka bakar bernanah. Sebelum meninggal, ia dikabarkan dipaksa tidur bersama anjing selama sebulan.
Tiga majikannya sudah ditahan polisi. Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Rusdi Kirana, berjanji mengawal kasus ini agar mereka mendapat hukuman setimpal. Rusdi mengusulkan pemberlakuan moratorium pengiriman tenaga kerja ke negara itu, khususnya di sektor rumah tangga.
Usul ini patut dipertimbangkan. Moratorium pernah diterapkan untuk Malaysia pada 2009-2011, dan kini bahkan masih berlaku untuk negara Timur Tengah. Moratorium bisa menjadi sarana untuk menegosiasikan ulang perjanjian di antara kedua negara agar lebih optimal melindungi tenaga kerja Indonesia. Apalagi draf nota kesepahaman baru, setelah MoU lama berakhir pada Mei 2016, hingga kini belum disetujui Malaysia.
Kasus Adelina bisa menaikkan daya tawar Indonesia dalam proses negosiasi itu. Daya tawar yang tinggi diperlukan karena banyak poin yang harus diperjuangkan pemerintah. Dalam urusan pemenuhan hak, TKI di Malaysia umumnya masih berada di posisi lemah. Mereka masih diperlakukan seperti budak, termasuk diminta bekerja melebihi waktu normal, digaji kecil, serta tak diberi akses komunikasi dan hak cuti. Mereka pun belum punya serikat pekerja. Hal-hal ini harus diperjuangkan agar masuk MoU.
Tapi moratorium bukan obat manjur untuk mengatasi masalah TKI. Kebijakan itu kerap dianggap menutup pintu rezeki pekerja migran yang hendak mencari nafkah secara halal. Di Malaysia, TKI ilegal justru lebih kerap jadi masalah.
Adelina pun diduga masuk ke Malaysia secara ilegal tiga tahun lalu. Keberangkatannya diatur calo, yang memalsukan dokumen dan memanipulasi usia TKI lulusan sekolah dasar itu. Polisi sudah menangkap dua calo yang terlibat-hal yang patut diapresiasi. Kita berharap penangkapan itu bisa menjadi langkah awal untuk mengungkap tuntas praktik pengiriman TKI ilegal.
Tentu hal itu tak mudah dilakukan. Investigasi Tempo pada Maret 2017 menemukan bahwa praktik pengiriman TKI ilegal sudah mengakar, melibatkan aparat negara. Perlu usaha ekstra dalam penanganannya, termasuk untuk mengusut dan menindak pihak yang tak terlibat langsung, seperti aparat yang membantu pemalsuan dokumen.
Penindakan itu pun perlu dibarengi dengan upaya pencegahan lewat penutupan jalur tikus yang digunakan TKI ilegal untuk menuju negeri jiran tersebut. Langkah yang simultan, termasuk penerapan Desmigratif-program pemerintah untuk penguatan masyarakat di daerah kantong buruh migran-diharapkan kian mampu mengikis praktik pengiriman TKI ilegal yang seperti tak kunjung mati.