Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ke Mana Arah Pembaruan KUHP?

image-profil

image-gnews
Komunitas pecinta Anjing Dogster Indo melakukan aksi stop makan anjing di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 13 Desember 2015. Mereka meminta masyarakat untuk tidak mengkonsumsi daging anjing karena dianggap melanggar Undang Undang KUHP pasal 302 tentang Perlindungan Hewan. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Komunitas pecinta Anjing Dogster Indo melakukan aksi stop makan anjing di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 13 Desember 2015. Mereka meminta masyarakat untuk tidak mengkonsumsi daging anjing karena dianggap melanggar Undang Undang KUHP pasal 302 tentang Perlindungan Hewan. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Iklan

Hukum pidana, yang salah satunya termuat dalam KUHP, adalah sebuah kesepakatan tentang batasan sejauh apa negara dapat melarang suatu perbuatan. Titik tolak ini tertuang dalam prinsip paling fundamental dalam hukum pidana: prinsip legalitas. Prinsip yang dikemukakan Anselm von Feuerbach pada 1801 tersebut berangkat dari adagium nullum crimen sine poena legali atau tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang.
Hukum pidana lahir jika terjadi pertemuan kehendak antara negara dan rakyat. Pelanggaran terhadap kesepakatan itu berbuah sanksi berupa pidana (nestapa). Artinya, hukum pidana hadir bukan sebatas ekspresi koersif negara, melainkan juga spirit proteksi terhadap hak asasi manusia.

Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas Rancangan Undang-Undang KUHP. Ini merupakan langkah pembaruan KUHP oleh Dewan. Masalahnya, ke mana arah pembaruannya: menghukum atau melindungi?
Semangat perlindungan sebenarnya sejalan dengan salah satu tujuan pembaruan KUHP, yaitu demokratisasi hukum pidana. Hukum pidana tidak selalu muncul untuk menghukum, tapi juga untuk melindungi dan memberdayakan.

Baca Juga:

Namun pembaruan KUHP bergerak ke arah sebaliknya. Mengutip data Institute for Criminal Justice Reform (2016), dalam Rancangan KUHP terdapat 1.251 ketentuan pidana. Pidana penjara masih menempati urutan teratas dengan 1.154 perbuatan, diikuti sanksi berupa pidana penjara. Dari kuantitas pidana penjara itu, durasi pidana penjara 5-15 tahun berada pada peringkat pertama.

Data ini menggambarkan bahwa pidana penjara masih dominan dan menjadi karakter utama pemidanaan dalam Rancangan. Benar bahwa terdapat beberapa jenis pidana alternatif, seperti denda, pidana pengawasan, hingga pidana kerja sosial. Namun jenis pidana alternatif itu tidak dapat mengimbangi pendekatan pidana penjara yang dominan.
Salah satu contoh adalah pidana kerja sosial, yang hanya dapat diterapkan pada 59 ketentuan. Peluang penerapan pidana kerja sosial ini hanya sekitar 2 persen dari total keseluruhan sanksi pidana dalam Rancangan. Dengan demikian, pidana penjara tetap diproyeksikan menjadi pendekatan utama dalam Rancangan. Hal ini menunjukkan bahwa Rancangan KUHP masih kental dengan naluri pengawas yang berupaya mengontrol sebagian besar perilaku masyarakat.

Penggunaan instrumen pidana untuk mengontrol perilaku rakyat ini didukung oleh karakter hukum pidana yang memaksa (koersif). Hukum pidana dapat menerobos kemerdekaan seseorang atas nama hukum. Dengan demikian, hukum pidana adalah instrumen yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku masyarakat.

Miller (1934), misalnya, memproyeksikan bahwa terdapat kecenderungan pemerintah menggunakan hukum pidana sebagai strategi yang efektif dalam mengontrol perilaku rakyat. Proyeksi yang sama pernah dikemukakan Garland (2001) dengan kritik yang lebih tajam bahwa kecenderungan pemerintah untuk mengontrol perilaku masyarakat ini sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengendalikan kejahatan di yurisdiksinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kecenderungan untuk mengontrol itu terlihat dari langkah menjadikan perbuatan yang dulu bukan perbuatan pidana menjadi pidana (kriminalisasi). Begitu juga dengan kecenderungan mempertahankan perbuatan pidana tetap menjadi perbuatan pidana.
Hal ini bukan berarti bahwa negara tidak boleh menghukum wwperbuatan jahat. Atas dasar kepentingan umum, negara dibekali tugas untuk mengatasi perbuatan jahat yang merugikan individu, masyarakat, maupun negara. Namun parameternya adalah pada seberapa perlu suatu perbuatan dijadikan perbuatan pidana dengan dasar perlindungan hak asasi manusia.

Negara tidak perlu gamang dalam mengkriminalkan perbuatan-perbuatan yang secara universal dinyatakan jahat (mala in se). Namun negara perlu mengurai lebih lanjut proporsi kriminalisasi terhadap perbuatan yang dinyatakan jahat karena dinyatakan jahat dalam aturan (mala prohibita).

Kata kunci dalam tindakan kedua itu adalah relativitas. Sepanjang perbuatan itu tidak secara universal dinyatakan jahat, terhadapnya dibutuhkan uji keperluannya. Parameternya tidak boleh hanya berbasis moralitas yang dipandang secara subyektif oleh pembentuk undang-undang. Perbuatan itu disepakati sebagai perbuatan pidana hanya jika terdapat pertemuan kehendak antara negara dan rakyat. Pada konteks ini, pemberian legitimasi dari publik menjadi sangat vital.

Pengutamaan hukum pidana sebagai yang "harus" dan bukan lagi yang "perlu" pada akhirnya berdampak kurangnya apresiasi pada hukum pidana itu sendiri. Moeljatno (1983) menyatakan bahwa semakin banyak hukum pidana dibuat (melebihi proporsionalitas), hal itu dapat berujung pada inflasi hukum pidana. Kecenderungan yang sudah tampak adalah naiknya ancaman pidana dalam banyak undang-undang pasca-reformasi (Anugerah Rizki Akbari: 2015).

Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah dan DPR sebaiknya menarik Rancangan KUHP dari pembahasan. Penarikan ini bertujuan memastikan bahwa pembaruan KUHP bergerak menuju misi besarnya, yaitu demokratisasi hukum pidana dengan spirit proteksi terhadap hak asasi manusia, bukan menuju hukum pidana yang koersif dan kejam tapi minim nilai.

Miko Ginting
Kepala Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


17 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

23 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.