MENTERI Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membawa wajah pemerintahan Presiden Joko Widodo mundur ke masa lalu. Dua keputusan terakhirnya, yakni penempatan jenderal polisi aktif sebagai pelaksana tugas gubernur dan pengaturan izin penelitianmeski belakangan dibatalkanmenghadirkan kembali gaya militerisme ala Orde Baru.
Usul Tjahjo mengangkat dua jenderal aktif polisi menjadi pelaksana tugas kepala daerah di Sumatera Utara dan Jawa Barat menabrak sejumlah aturan. Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia jelas menyebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan dilarang melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, juga mewajibkan setiap anggota aktif Polri mengundurkan diri dari kedinasan sebelum menduduki jabatan pemimpin tinggi setingkat madya dalam instansi pemerintah. Usul Menteri Tjahjo sangat dipaksakan karena tidak ada klausul kegentingan yang memaksa untuk menjalankannya.
Langkah politikus PDI Perjuangan itu memantik kecurigaan. Sebab, di dua provinsi itu, partainya memiliki kepentingan pemenangan pada pemilihan kepala daerah. Tak mengherankan, kritik keras muncul setelah keputusan Menteri Tjahjo. Ia pun malah melemparkan bola panas ini ke Presiden Joko Widodo. Hingga saat ini, empat bulan menjelang putaran pemilihan kepala daerah, Presiden belum memutuskan menerima atau menolak usul pembantunya itu.
Keputusan lain tentang izin penelitian makin menguatkan kesan militeristik pada Kementerian Dalam Negeri. Tjahjo menerbitkan Peraturan Menteri tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian pada 11 Januari lalu. Peraturan itu menggantikan aturan lama tahun 2011 tentang pedoman penerbitan rekomendasi penelitian. Isinya, antara lain, memuat ketentuan baru tentang "potensi dampak negatif penelitian" yang memungkinkan pemerintah menolak permintaan izin penelitian.
Meski kemudian dibatalkan karena menuai kecaman publik, langkah Tjahjo ini layak dipertanyakan. Mengapa harus ada aturan yang membahayakan dunia penelitian di negeri ini, tanpa ada proses yang matang dan pengkajian secara mendalam, termasuk mendengarkan masukan publik. Lalu untuk apa aturan yang berpeluang mengekang kegiatan berekspresi diterbitkan secara diam-diam.
Tjahjo seharusnya paham, tanpa ada aturan izin saja, perkembangan dunia penelitian di Indonesia masih sangat rendah. Jumlah peneliti Indonesia masih minim. Data dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2016 menyebutkan jumlah periset di negeri ini paling rendah di antara 19 negara perekonomian terbesar ditambah Uni Eropa (G-20). Rasio jumlah periset di Indonesia, yaitu 89 peneliti per 1 juta penduduk, jauh tertinggal dibanding Singapura, yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk.
Presiden Joko Widodo semestinya menegur Menteri Tjahjo. Sebab, dalam sistem presidensial, Presiden bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dilahirkan para pembantunya. Membiarkan anak buahnya mengambil keputusan-keputusan kontroversial menguatkan tudingan bahwa pemerintahan Jokowi rindu era Orde Baru.